Sabtu, 20 Agustus 2011

Kemuliaan yang Tidak Fana

Hampir setiap orang ingin agar dirinya sepanjang hidup, menjadi orang yang dihormati, dimuliakan, dihargai. Bahkan tidak sedikit yang ingin agar kehormatan, kemuliaan dan penghargaan itu tidak berakhir hanya di batas usianya berakhir. Melainkan juga diwarisi oleh keturunannya setelah dirinya tidak ada. Karena keinginan itu, umumnya orang berusaha mencari sarana apa yang bisa menjadikan kemuliaan itu langgeng dan terus menerus untuk diri dan keturunannya.

Saudaraku,

Yang banyak dianggap menjadi sarana datangnya kemuliaan dan kehormatan itu adalah harta benda, hubungan kekerabatan dengan orang terhormat, keturunan, kedudukan, kekuasaan, jabatan dan semacamnya.

Namun sesungguhnya, mereka keliru memandang masalah ini dengan benar. Banyak oramg lupa bahwa seluruh sebab dan sarana yang dianggap bisa mendatangkan kehormatan dan kemuliaan itu, semuanya fana, tidak abadi, tidak kekal, dan pada saatnya pasti hilang. Harta benda perlahan akan berkurang. Meski diusahakan seperti apapun, dijaga, diputar dalam kegiatan ekonomi, mungkin pula ada yang bertambah, tapi tetap saja ia akan terus berkurang. Bahkan tingkat kekurangan harta, bisa terjadi secara dramatis, meski sudah diiringi rencana, ketelitian dan kerja keras lainnya. Hubungan kekerabatan juga demikian. Kehidupan berputar dan semuanya pasti berubah. Memiliki hubungan dengan orang penting, orang terkenal, tidak menjamin bisa memberi pengaruh untuk menaikkan harga diri dan kehormatan diri. Orang –orang itu tidak selamanya terhormat dan terpandang. Semua ada waktunya.

Saudaraku,

Kedudukan dan jabatan pun tidak berbeda. Sebagian orang berusaha menjaga dan memelihara jabatan dan kedudukannya, agar tetap terhormat dan dimuliakan orang. Tapi itu tidak akan pernah terjadi. Kekuasaan, jabatan pasti akan berpindah ke lain orang. Bahkan di tengah kekuasaan dan jabatan dipengang pun, kehormatan dan kemuliaan pejabat dan penguasa bisa hilang karena tingkah laku dan penyimpangan yang dilakukannya. Sebaliknya kekuasaan dan jabatan itu justru menjadi arah caci maki dan kebencian orang lain.

Keturunan. Apakah keturunan juga akan mendatangkan kehormatan dan kemuliaan? Jawabannya, bisa iya atau tidak. Keturunan kita, bahakn bisa menjadi kendala dan beban bagi diri sendiri bila mereka tidak hidup dan tumbuh dalam ketaatan kepada Allah swt. Itulah sebabnya, salahsatu firman Allah swt mengingatkan tentang kondisi istri dan keturuna bisa menjadi musuh.

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah lah pahala yang besar. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Ath Taghabun: 14-15)

Di sisi lain, tentu keturunan bisa menjadi nikmat luar biasa dari Allah bila mereka menjadi bagian dari “anak shalih yang mendo’akan orang tuanya.”

Saudaraku,

Mari kita perhatikan bagaimana kalimat yang diungkapkan oleh Ibnu Athaillah dalam hal ini. Ia mengatakan, “Jika engkau ingin kemuliaan yang tak fana dan tidak pernah hilang, maka jangan mengambil kemuliaan itu dari sesuatu yang fana dan akan hilang.” Harta benda, hubungan kerabat, keturunan, kedudukan, jabatan, semuanya akan hilang. Dan sebab kehormatan bisa langgeng dan kemuliaan tetap ada, adalah Allah swt. Allah swt yang menjadikan semua faktor itu menjadi bagian dari kemuliaan, atau sebaliknya.

Saudaraku,

Pelajaran besar dari ungkapan Ibnu Athaillah tersebut adalah, jangan tunduk dan jangan dikendalikan oleh dunia. Tapi tundukkan dan kendalikan dunia itu sebagai sarana yang bisa mendekatkan diri pada Allah swt, sebagai wasilah ketaatan kepada Allah swt.

Orang yang diridhai Allah swt, akan dihormati dan dimuliakan manusia, bagaimanapun kondisinya. Ia akan ada dalam hati manusia sebagai sosok yang dihargai dan disegani. Meski boleh jadi secara lahir orang –orang menampakkan kebencian dan memerangi dirinya, tapi nurani mereka pasti mengatakan bahwa ia oran gyang patut dihargai dan dimuliakan. Itu karena kemuliaan yang dimilkinya bukan karena sebab-sebab duniawi yang fana. Melainkan karena ditanamkan oleh Allah swt di hati hamba-hamba-Nya karena Ia meridhainya.

Maka, ketika salah seorang khalifah Umawiyah, bernama Hisyam bin Abdil Malik tawaf di Baitullah, ia terheran bagaimana orang-orang begitu memuliakan dan menghamparkan jalan di hadapan Ali Zainal Abidin bin Al Hiusein, cucu Imam Ali radhiallahu anhum. Orang –orang memberikan jalan kepadanya untuk bisa menyentuh dan mencium hajarul aswad. Hisyam bin Abdil Malik memprotes sikap orang-orang itu. Al Farazdak lalu menjawab protes Hisyam bin Abdul Malik itu dengan untaian syairnya yang kurang lebih artinya: “Ia adalah sosok yang tanah ini mengenal langka-langkahnya. Baitullah juga mengenalinya, sebagaimana juga Masjidil haram. Ia adalah keturunan Fathimah. Bila engkau tetap tak mengenalinya, kakeknya adalah penutup para Anbiya.”

Saudaraku,

Zainal Abidin rahimahullah memang sangat dikenal kedermawanan dan kemurahan hatinya. Daiebutkan dalam sebuah ungkapan, “Ia tak pernah menyatakan tidak, kecuali saat mengucapkan tasyahud Laa ilaaha illallah. Andai tidak ada tasyahud, niscaya “tidak” yang diaktakannya berarti “iya”.”

Itulah sekelumit contoh tentang apa yang menjadikan seseorang terus terhormat, terus menerus dimuliakan, hingga dirinya sendiri sudah tiada. Karena, mereka tidak menggantungkan kehormatan ke pada yang fana, maka ia mendapat kehormatan yang tidak fana.

Selasa, 16 Agustus 2011

Ramadhan... (part 2)

Seharusnya kita sangat tahu bahwa Ramadhan adalah kesakralan yang dilekatkan kepada kita, karena kita seorang Muslim, sebagai aturan yang sangat mengikat. Tidak semata ajaran, tapi juga kehormatan diri. Kesakralannya yang mengikat memiliki status yang sangat tinggi. Baik secara hukum maupun secara fungsi, secara manfaat. Sebab yang menciptakan kesakralan itu adalah Dzat yang menciptakan manusia. Maka kita yang diminta mengikuti apa yang ada pada Ramadhan. Kita yang harus menghadirkan diri kita sepenuhnya bersama Ramadhan. Tanpa tautan kesakralan itu, kita sebenarnya rapuh. Dan apalah arti badan yang tegak bila hati gelap tak bercahaya. Jalan pun gontai, langkah pun tak akan sampai. Ramadhan, kesakralannya memang sekaligus ujian.

Bila kreasi kesakralan berdimensi waktu, diserahkan sepenuhnya kepada kita, maka kita manusia, cenderung menciptakan sentra-sentra kesakralan, pada momen yang kita karang-karang sendiri. Dan itu lebih banyak palsunya. Sangat sedikit yang nyata. Itu sebabnya, kita sering gagal. Bahkan apa yang sering kita sebut sebagai ekspresi kesyukuran, karena bertambahnya keluarga, atau bertambahnya usia, bertambah hasil, berambah capaian, seringkali hanyalah pesta meriah dengan secuil doa yang masih tersangkut di kerongkongan. Itu kesakralan yang kita kreasi dengan cara yang mungkin sulit dipahami dalam perspektif kesakralan Ramadhan.

Di kedatangan Ramadhan yang kesekian, ia tetap lapang membuka diri, lega membagi peluang. Seharusnya kita mengerti arti mengejar hasil bersama Ramadhan. Tidak semata jumlah, tapi juga nilai. Di antara kita ada yang menyia-nyiakan bulan yang begitu mulia itu. Bagaimana mungkin mereka bisa menghargai hari-hari lain di luar bulan Ramadhan?

Sebagian lagi dari kita hanya menghampiri sisi luar Ramadhan. Berleha sejenak di etalasenya. Menghibur diri atas nama rasa lelah. Sangat sejenak. Tapi gagal memasuki ruang dalam di lorong-lorong panjang Ramadhan yang melimpah berkah.

Banyak dari kita yang menghabiskan uang untuk belajar bagaimana mengatur waktu. Ada banyak pelatihan dan uji coba tentang itu. Ada banyak model tentang bagaimana mengelola waktu. Ada banyak falsafah yang kita anut tentang waktu. Tapi sangat sedikit yang mau menyediakan diri seluruhnya untuk keagungan waktu-waktu di saat Ramadhan tiba. Maka ilmu kita tentang manajemen waktu semakin modern dan nampak cerdas, tapi tetap banyak dari kita yang tak benar-benar mengerti betapa sangat berharganya Ramadhan.

Seharusnya bersama Ramadhan kita belajar banyak tentang pengalian, bukan hanya penjumlahan. Sebab begitulah yang tersedia bersama Ramadhan: pelipatgandaan balasan dan penghargaan. Seharusnya kita sadar, bahwa bila kita tak mendapati karunia besar dengan kedatangan Ramadhan, alangkah datarnya hidup. Sebab yang kita lakukan hanya menjumlah angka-angka ibadah di hari-hari biasa. Jumlahnya sedikit dan banyak yang compang-camping. Tapi bersama Ramadhan, semua dikalikan berlipat-lipat. Begitupun, banyak dari kita yang enggan menyediakan diri untuk berbuat apa-apa yang bisa dikalikan, di hari-hari istimewa itu. Maka bila Ramadhan berlalu, banyak dari kita yang tetap miskin kebajikan.

Tanpa Ramadhan, alangkah minimnya kualitas kita. Sebab yang kita lakukan hanya mengisi rutinitas yang terbatas. Itupun masih sering digerogoti penyakit hati yang aneh-aneh. Bersama Ramadhan ada pengalian berkali-kali. Bahkan di salah satu malamnya ada malam yang sangat-sangat istimewa. Itu pengalian dalam ribuan yang menghasilkan jumlah yang sangat-sangat besar. Seperti yang telah dijelaskan oelah Rasulullah saw, “Barangsiapa yang mendirikan shalat pada malam Lailatul Qadar, karena iman dan mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Adakah karunia yang lebih besar, lebih banyak, lebih melimpah , dari dosa daosa di masa lalu yang terampuni?

Ramadhan, begitu kuat karakternya. Dalam diamnya yang terjaga, bulan suci itu menyebar aura yang menggetarkan. Tapi hanya orang tertentu yang bisa menemukan sisi itu dari Ramadhan. Semoga kita bisa menyapanya dengan jujur, menyertainya dengan tulus.

Ramadhan …

Ramadhan… Seluruh satuan masa di sepenuh bulannya adalah cahaya, bagi kita, bila kita ingin menggapai taqwa. Ia tak semata kesempatan. Lebih dari itu, Ramadhan, adalah pusaran kesakralan.

Ramadhan…

Sejujurnya setiap jiwa kita merindukan kesakralan. Tanpa kecuali. Sebab begitulah karakter jiwa kita diciptakan. Kita memang dari tanah. Tapi kita juga dicetak dari tiupan ruh, yang menjadikan tanah yang mati dalam tubuh kita tumbuh dan hidup. Karenanya, seluruh jiwa raga kita sangat ceria dan bahagia dengan Ramadhan, bahkan saat ia baru nyaris tiba. Tapi godaan nafsu dan tarikan-tarikan liar seringkali membuat semuanya kacau dan tercabik-cabik.

Sejujurnya semua jiwa kita merindu kesakralan. Dan Ramadhan, adalah muara segala kesakralan itu. Pada bulan suci itu ada gabungan seremoni lahiriyah, yang harus kita lakukan secara fisik, juga seremoni batin, yang harus kita hayati dengan khusyu’. Tak ada yang lebih indah dari puncak kesdaran yang tergabung antara ibadah lahiriyah dengan ibadah maknawiyah. Maka bersama Ramadhan hati yang keras bisa luluh leleh. Pikiran yang rancu bisa terurai jernih. Dan gairah hidup, bersama Ramadhan, bisa sangat segar dan menyegarkan. Sayang, tidak semua kita memahami dengan sebenar-benarnya.

Sejujurnya setiap jiwa kita merindu kesakralan. Bahkan sebagian kita yang hampir seluruh hidupnya berhias gelak tawa, punya momen-momen kusut masai, saat dalam kesendirian tak bisa menghindari pertanyaan fitrah diri sendiri: apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini? Peradaban kita bergerak pesat dalam dunia simbol. Mengenyangkan raga tapi sering melaparkan jiwa. Di tengah arus yang sangat deras itu, sebenarnya, perlahan-lahan jutaan jiwa diam-diam tertatih mencari oase ruhani. Kadang pencarian itu salah arah. Padahal pada Ramadhan, ada banyak jawaban atas pencarian itu.

Meski Ramadhan hadir dalam utuh cintanya, kita juga belum terlepas dari terlena. Bulan-bulan telah berlalu dan bayak dari kita yang saldo amalnya minus, bahkan defisit parah. Itu tidak semata soal hitung-hitungan amal dimaksud. Tapi juga kegersangan hati yang tak pernah berhasil memanggil air mata, barang dua tetes sekalipun. Padahal air mata keimanan justru milik orang-orang besar. Tangisan keimanan justru milik jiwa-jiwa yang tegar. Itu sebabnya mata yang menangis karena Allah, tidak akan tersentuh api neraka. Bersama kedatangan Ramadhan, yang pasti, kita punya begitu banyak kekurangan. Kita seharusnya takut, bila kekurangan itu begitu parah, sehingga kehadiran Ramadhan lebih banyak untuk kita menambal, bukan untuk menambah.

Ramadhan…

Melalui lembar-lembar kesempatan yang melekat pada Ramadhan, apa yang tertanam dalam iman kita bisa mekar. Sebab iman memerlukan pembuktian di alam amal. Bersama Ramadhan iman jadi lebih relevan. Karena Ramadhan, adalah akumulasi kemuliaan pada setiap detaknya, maka sangat penting apa yang kita lantunkan, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita lakoni di hari-hari mulia itu.

Dengan penanda siang dan malam, subuh dan senja, karena Ramadhan, kita bisa melakukan hal-hal berbeda. Berbeda kadarnya, berbeda nilainya, berbeda bentuknya , berbeda penghargaannya, berbeda pembalasannya, di sisi Allah swt.

Tapi yang tampak oleh mata sebagian kita hanya siang terang atau gelap malam, seperti biasanya. Padahal Ramadhan , bukan hari biasa, bukan siang biasa, bukan malam biasa. Memang, siapapun yang ingin mengerti jiwa Ramadhan, perlu menggunakan sentuhan rasa: rasa keimanan yang memadai. Itu sebabnya begitu banyak orang yang berlalu lalang di hari-hari Ramadhan, dan hati mereka mati, beku. Maka mereka tidak berpuasa, atau tidak benar-benar berpuasa. Mereka tidak shalat, atau tidak benar-benar shalat. Mereka tidak membaca Al-Qur’an ataau tidak benar-benar membaca Al-Qur’an. Mereka gagal membaca hakikat Ramadhan. Sebab yang ia lihat hanya apa yang tampak dari datangnya pagi dan hadirnya petang. Seperti hari-hari sebelumnya, seperti malam-malam lainnya. Mereka sungguh keliru.

Sabtu, 23 Juli 2011

Al Qur’an Bicara Tentang Nyawa (part 2)

Batas dasarnya telah ditetapkan. Nyawa tidak boleh digadaikan dengan rasa takut akan jatah makan. Ini prinsip yang sangat keras. Lalu sesudah itu, Allah membimbing kita untuk pandai-pandai dalam mengatur jalannya hidup. Dengan cara mengambil sikap pertengahan. Agar jangan sampai, kegagalan kita mengelola sikap kita dalam urusan nafkah, berakibat fatal, temasuk kembali melanggar larangan mengorbankan anak-anak.

Maka Allah berfirman, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggupada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya krena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’:29-30)

Pada saat yang sama, kita juga dilarang merusak diri dan keluarga kita sendiri. Allah juga berfirman, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah: 195)

Begitu anak-anak tumbuh menjadi dewasa, dan kita semua sama-sama menjadi manusia dewasa, kita tetap dan terus diingatkan tentang pentingya menjaga, menghormati dan melindungi nyawa.

Ini tidak semata untuk mengenang masa-masa berat saat bayi-bayi berjuang menyambung hidup. Ini tidak semata untuk mengenang saat-saat para ibu berjuang melawan maut ketika melahirkan nyawa-nyawa baru pada bayi-bayi baru. Tapi juga untuk memastikan, bahwa begitu nyawa seorang manusia hadir ke muka bumi, maka tidak ada seorangpun manusia yang berhak mencabutnya, menghilangkannya. Hanya Allah yang berhak mematikan hamba-hamba-Nya.

Maka perlindungan atas nyawa yang sudah melalui perjalanan panjang seperti itu, harus terus dilakukan sampai akhir hayatnya. Itulah mengapa Islam memberi aturan yang sangat ketat dan hukuman yang sangat keras bagi siapapun yang menghilangkan nyawa orang lain.

Menghilangkan hidup orang lain adalah dosa besar, yang ancaman hukumannya amat berat, membuat bulu kuduk merinding dan jiwa menjadi gentar dan takut. Allah swt berfirman, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An Nisa’:93)

Dan untuk mencegah agar perbuatan itu tidak terjadi, Al Qur’an membuat aturan qishash; sebuah hukuman berupa balasan yang sepadan terhadap sebuah kejahatan yang dilakukan sebagai peringatan. Ketika pembunuhan itu dianggap sebagai musuh kehidupan, perusak sendi-sendi sosial, dan penghancur hak untuk hidup, qishash diberlakukan untuk mencipatakan rasa takut dalam diri manusia, dan sebagai jaminan untuk keberlangsungan hidup bagi semanya. Allah berfirman, “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 179)

Dari semua penjelasan di atas, nyata sudah, bahwa setiap kita harus memuliakan nyawa. Nyawa kita snediri, atau nyawa anak-anak kita, dan nyawa manusia seluruhnya, berusaha menjaganya danmempertahankannya, betapapun keadaan yang sulit memaksa kita untuk bekerja keras, berkorban dengan segala daya dan upaya.

Al Qur’an Bicara Tentang Nyawa (part 1)

Nyawa adalah faktor utama kehidupan. Karena itu, Al Qur’an yang mencintai kehidupan

, begitu memuliakannya. Al Qur’an berbicara tentang kemuliaan dan kehormatan jiwa manusia serta hak dan fungsinya dalam kehidupan ini; bahwa hidupa dalah pemberian Allah kepada manusia, agar ia mampu menunaikan tugas-tugasnya di atas muka bumi ini, seperti firman Allah swt, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan

manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Untuk tujuan itu, jika kita perhatikan, maka ayat-ayat yang bicara tentang nyawa l

ebih banyak kepada soal perlindungandan pemeliharaan. Allah mengharamkan segala perbuatan yang bertujuan menghilangkan hak hidup, apapun bentuknya dan bagaimanapun caranya, serta memberikan ancaman yang berat kepada siapa saja yang menghilangkan nyawa, tanpa alasan yang dibenarkan syariat.

Allah menyadarkan kita tentang bagaimana proses perjalanan kehidupan kita. “Dan s

ungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya

air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami menjadikannya makhluk yang berbentuk lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. Al Mu’minun: 12-14).

Begitulah kehidupan ini kita nikmati. Begitulah jalan dan prosesnya. Begitu pulakuasa Allah yang dengan lembut memberi sentuhan-Nya pada diri kita.

Tetapi pada saat yang sama, Allah juga mengabarkan, bahwa proses menjadi manusia itu sendiri ada yang berlanjut dengan usia yang panjang. Ada juga yang hanya untuk waktu yang singkat.

Tetapi, yang harus kita pahami, bahwa tidak seorang pun yang berhak mengakhiri nyawa dari calon makhluk-makhluk yang diciptakan Allah itu. Maka, begitu ada bayi baru yang lahir ke muka bumi, dengan nyawa yang masih dilekatkan Allah pada bayi itu, kita wajib berusaha keras agar nyawa bayi tersebut tidak hilang. Seperti apapun kondisi fisik dari bayi tersebut. Tanpa kecuali.

Setiap bayi lahir dalam keadaan yang lemah. Ia sangat memerlukan bantuan dan campur tangan orang dewasa untuk untuk mempertahankan nyawanya. Terlebih bagi bayi-bayi yang lahir dengan kondisi tidak sempurna.

Maka siapapun yang berjuang untuk menyelamatkan nyawa bayi-bayi itu, sesungguhnya telah berjuang untuk menyelamatkan kehidupan. Sebab tidak seorang pun tahu, kelak bayi itu akan menjadi orang seperti apa.

Setelah bayi itu tumbuh dari tak berdaya menjadi anak-anak, Allah tetap mengingatkan kita semua untuk terus menghargai nyawa mereka. Kadang, tema nyawa in harus disadarkan dengan hal-hal yang bersifat materi. Sebab, orang tua seringkali menganggap bahwa anak-anak adalah beban. Itu situasi yang jauh lebih rumit. Sebab anak-anak sudah mulai menjadi makhluk yang utuh. Sudah punya perasaan, sudah mulai punya pikiran. Emosi dan suasana psikologis mereka sudah tumbuh. Maka menjaga nyawa mereka, apalagi bila hanya takut rezeki, menjadi tema penting lainnya yang diwanti-wanti oleh Allah.

Maka Allah swt juga melarang kita menyingkirkan anak-anak dari kehidupan kita, hanya karena ada rasa khawatir akan menyusahkan kita, atau ikut memakan sebagian harta kita. Allah menegaskan, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al Isra’:31)

Sabtu, 16 Juli 2011

Menjadi Peserta Kehidupan yang Syukur (part 3)

Kedua, memastikan selalu ada kebaikan yang bertambah.

Hidup ini adalah sebuah nikmat. Tapi sedikit di antara kita yang menyadarinya. Kelak semua kita akan tersadar manakala hidup itu sudah terputus; berharap kembali kepada kehidupan semula, walau hanya sesaat, karena kita semua merasa sangat sedikitmengambil manfaat dari kehidupan itu. Allah berfirman, “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al Mu’minun: 99-100)

Berharap kembali, walau hanya sebentar. Berharap hidup lagi, walau hanya sesaat. Berharap memaksimalkan amal walau hanya di akhir hayat. Allah ceritakan penyesalan itu, “Dia mengatakan: “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini.”

Nikmat ini tidak disadari oleh kebanyakan manusia. Padahal jika direnungkan lebih dalam, sesungguhnya inilah modal utama kita. Apalah artinya karunia kekayaan yang melimpah, yang memenuhi seluruh ruang di dunia ini jika Allah menghentikan kehidupan kita. Apakah kita bisa mersaakan nikmatnya karunia yang mana kala kita sudah mati?

Andaikan semua perbendaharaan dunia dikumpulkan hanya untuk kita, sekali lagi hanya untuk kita, tidak memberi guna jika Allah mencabut nyawa kita.

Karakter seseorang beriman adalah selalu membekali diri untuk kehidupan akhiratnya, dan terus berusaha untuk menambah pahalanya dari bermacam jenis kebaikan dan amal shalih. Karakter ini yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah saw, “Berbahagialah orang yang bertambah usianya dan baik pula amalnya.”

Hadits lain mengatakan, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang panjang usianya dan baik pula amalnya.”

Hadirnya pertambahan dan peningkatan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lebih baik, dari kedudukan yang satu kepada kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dekat kepada Allah swt, adalah merupakan pembuktian syukur kita atas karunia hidup yang Allah berikan kepada kita.

Hidup yang dengannya Allah berikan banyak kesenangan kepada kita saat ini, adalah karunia yang harus dimanfaatkan hingga ajal itu datang dengan sendirinya, sesuai waktu yang telah ditentukan. Maka berhati-hatilah untuk tidak menjadi penyebab hilangnya nyawa kita, atau perginya kehidupan itu dari kita, dengan cara apapun. Dan selalu berusaha menghadirkan kebaikan di setiap jenak usia kita yang tersisa, sebab dengan begitu kita telah menjadi peserta kehidupan yang pandai bersyukur.

Menjadi Peserta Kehidupan yang Syukur (part 2)

Selama bertahun-tahun kita menikmati kehidupan ini. Bahkan hingga hari ini pun kita masih merasakan nikmat tersebut, dan semoga terus berlanjut hingga beberapa tahun ke depan. Kita menjadi peserta kehidupan, kita adalah makhluk yang terpilih untuk merasakan indanhnya kehidupan. Ketika hidup ini masih berjalan, kita tak boleh memutusnya, atau sekedar bercita-cita untuk segera berpisah dengannya, karena tekanan keadaan yang begitu rumit dan kacau.
Sabda Rasulullah begitu jelas mengingatkan kita, “Janganlah seseorang berangan-angan untuk mati karena sebuah kesulitanyang menimpanya, jikapun harus berangan-angan hendaklah ia mengucapkan, “Ya Allah hidupkanlah aku sepanjang kehidupan itu baik bagiku, dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku.”

Dan Nabi kita, telah pula menjelaskan betapa dahsyatnya ancaman bagi orang yang merusak hidupnya sendiri. Bunuh diri adalah salah satu dosa paling besar yang kita kenal dalam agama ini; dibalas dengan neraka di hari kiamat kelak. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia ini, dia akan diazab dengan (perbuatan serupa) itu pada hari kiamat.”

Siksaan Allah kepada orang yang bunuh diri adalah seperti yang dia lakukan untuk menghilangkan nyawanya yang mahal itu, seperti yang beliau tegaskan, “Siapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung dan lalu jiwanya terbunuh, maka dia berada di neraka Jahannam selalu menjatuhkan diri di dalamnya, kekal dan dikekalkan di dalam selama-lamanya. Siapa yang menegak racun dan lalu dirinya terbunuh maka racunnya ada di tangannya dan kelak selalu dia hisap di neraka Jahannam, kekal dan dikekalkan selama-lamanya. Dan siapa yang membunuh dirinya dengan benda tajam, maka benda tajam itu ada di tangannya dan dengannya dia menikamkan perutnya sendiri di hari kiamat, di dalam neraka Jahannam kekal dan dikekalkan selamanya.”

Menyakiti jiwa, merendahkan nyawa, menghinakan kehidupan adalah pertanda hidup akan berakhir tragis; su’ul khatimah. Dan menjadi penghuni neraka. Di zaman Nabi SAW, ada seorang laki-laki yang selalu ikut berperang bersama Nabi. Tidak ada sengketa dan peperangan dengan kaum musyrikin, kecuali dia ikut serta. Tapi, suatu ketika Rasulullah SAW membuat pernyataan mengejutkan : “Dia di neraka.”

Sahabat terlongok mendengar sabda beliau. “Kalau dia di neraka, lalu siapa yang di surga?” kata mereka penuh tanya. Ini karena mereka melihat keberanian dan ketangguhan lelaki tersebut. Namun ketika ia merasakan sakit karena terluka ia tiba-tiba mengeluarkan panah dari sarungnya dan menghujamkan ke dadanya hingga nyawanya lepas oleh tangannya sendiri. Seorang sahabat sambil berlari mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan engkau adalah benar-benar utusan-Nya yang telah berkata bahwa lelaki itu di neraka. Allah telah membenarkan ucapanmu. Ia telah mengambil anak panah dari sarungnya dan kemudian bunuh diri.”

Sebuah kisah juga menyebutkan, bahwa seorang laki-laki terluka dan dia tidak kuat menanggung sakitnya sehingga mengambil sebuah pisau lalu melukai tangannya. Darah tidak berhenti mengucur hingga ia tewas. Allah pun berfirman tentangnya dalam sebuah qudsi, mengorbankan jiwanya. Aku haramkan surga untuknya.”

Ini semua adalah hadits shahih yang menegaskan kepada kita betapa buruknya perbuatan yang tak menghargai nyawa, sekaligus mendefinisikan bahwa perbuatan itu menunjukkan lemahnya iman, sedikitnya sabar, juga rusaknya akal dan buruknya cara pandang. Naudzubillah.

Sungguh, nyawa yang paling mulia di hadapan Allah swt adalah nyawa kita. Nyawa yang kita punyai sekarang ini. Nyawa adalah amanah yang ada di leher kita. Maka janganlah kita coab untuk mencelakainya. Janganlah berani coba melakukan perbuatan buruk terhadapnya. Karena kita bertanggungjawab. Kita punya kewajiban besar menjaganya. Dan setiap usaha kita untuk menghancurkannya adalah termasuk dosa besar, menjadi sebab datangnya azab Allah dan murka-Nya. Karena itu, sekali lagi, Allah melarang kita mencederainya sebab Ia menyayangi kita. Maka jadikan diri kita sebagai peserta hidup yang syukur, dengan selalu menjaga dan menyayanginya.

Menjadi Peserta Kehidupan yang Syukur (part 1)

Kehidupan adalah karunia Allah yang pertama kepada kita. Kehidupan pula yang menjadi nikmat terbesar kita sebelum yang lain kita peroleh. Kehidupan menjadi pangkal dari segala nikmat dan juga pusat dari semuanya. Benar bahwa ada kenikmatan yang lebih utama di dunia ini; iman dan Islam. Tapi iman dan Islam datang setelah kita menerima kenikmatan hidup terlebih dahulu. Keduanya menjadi tidak berarti manakala kehidupan tersebut tak diberikan. Apa artinya kekuatan menghadapi cobaan kalau kita tak pernah hidup merasakan beban dan kepedihan. Apa peran Islam buat kita kalau toh kita tak pernah ada di muka bumi ini. Iman dan Islam adalah karunia paling utama yang butuh sarana bernama kehidupan, agar kehidupan itu menemukan arah yang benar, dan agar iman dan Islam itu punya tempat aplikasi dan pembuktian.

Firman Allah swt, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. Kemudian kamu pasti ditanyai tentang hari itu tentang kenikmatan yang kamu megah-megahkan di dunia itu,” adalah salah satu ayat yang menjelaskan bahwa semua yang dilimpahkan Allah kepada kita di dunia ini adalah nikmat yang besar. Namun ada perbedaan pendapat dari para pemilik ilmu tentang manakah nikmat yang paling besar? Para ahli mantiq dan ilmu kalam mengatakan “Nikmat yang paling besar adalah kehidupan.” Sementara para ahli hadits mengatakan, “Nikmat terbesar adalah nikmat Islam.” Dan ini pula yang dipahami Ibnu Taimiyah dalam ayat di atas, serta kita semua. Tapi sekali lagi, iman dan Islam butuh sarana bernama hidup. Begitu juga nikmat-nikmat Allah yang lain. Semua karunia yang kita terima butuh sarana bernama kehidupan untuk kita nikmati. Maka ayat “Dzat yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kalian yang terbaik amalanya,” (QS. Al Mulk: 3) menegaskan bahwa kita perlu hidup dulu untuk bisa mengetahui kualitas iman dan Islam kita yang terwujud dalam kualitas dan kuantitas amal ibadah yang kita kerjakan. Kita membutuhkan hidup untuk melihat perbedaan kualitas di antara kita. Karena itu hidup menjadi penting. Karena itu hidup menjadi karunia yang besar. Dan ketika kita menjadi salah seorang yang dikaruniai nikmat ini, kita perlu mensyukurinya.

Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan agar kita menjadi peserta kehidupan yang syukur. Pertama, selalu menghormati dan menjaga kemuliaan kehidupan tersebut.

Ada banyak pemandangan di sekitar kita yang mengharuskan kita banyak bersyukur dengan kehidupan yang Allah berikan ini. Khususnya dari mereka dengan takdir dan keadaan tertentu, memerlukan perjuangan keras demi mempertahankan hidupnya, seperti bayi-bayi yang lahir secara prematur.

Seperti yang pernah diberitakan, seorang ibu di Jerman melahirkan bayinya dalam usia 15 minggu; 22 minggu lebih cepat dari kehamilan ibu normal. Bayi perempuan yang bernama Kimberly itu hanya memiliki berat 10,5 ons, dengan panjang hanya 25,9 cm. Ukuran yang sangat kecil. Dokter pun, segera memasukkan bayi super mungil itu ke inkubator.

Dengan kemungkinan hidup yang amat sangat kecil, kedua orang tua Kimberly hanya bisa berdoa dan berharap bantuan yang maksimal dari para dokter yang menanganinya. Enam bulan berlalu, ternyata bayi tersebut mampu bertahan. Dia tercatat sebagai bayi terkecil yang pernah lahir di Jerman dan masih bertahan hingga kini.

Ketika ibunya, Petra Muller, sudah diperkenankan memegang anaknya itu, ia berujar, “Sungguh luar biasa indah ketika dia bisa memegang jari saya dalam tangannya yang kurus. Dia seperti beruang kecil yang hendak memeluk tiga batang pohon. Dia seperti berkata jangan tinggalkan aku, ibu.”

Tidak hanya Kimberly, ada ribuan anak manusia yang lahir prematur dan harus berjuang keras demi merebut hidupnya. Dan bersyukurlah kita, karena Allah memudahkan hidup kita, menjadikan kita peserta kehidupan yang benar-benar menikmati kehidupan.