Sabtu, 23 Juli 2011

Al Qur’an Bicara Tentang Nyawa (part 2)

Batas dasarnya telah ditetapkan. Nyawa tidak boleh digadaikan dengan rasa takut akan jatah makan. Ini prinsip yang sangat keras. Lalu sesudah itu, Allah membimbing kita untuk pandai-pandai dalam mengatur jalannya hidup. Dengan cara mengambil sikap pertengahan. Agar jangan sampai, kegagalan kita mengelola sikap kita dalam urusan nafkah, berakibat fatal, temasuk kembali melanggar larangan mengorbankan anak-anak.

Maka Allah berfirman, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggupada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya krena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’:29-30)

Pada saat yang sama, kita juga dilarang merusak diri dan keluarga kita sendiri. Allah juga berfirman, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah: 195)

Begitu anak-anak tumbuh menjadi dewasa, dan kita semua sama-sama menjadi manusia dewasa, kita tetap dan terus diingatkan tentang pentingya menjaga, menghormati dan melindungi nyawa.

Ini tidak semata untuk mengenang masa-masa berat saat bayi-bayi berjuang menyambung hidup. Ini tidak semata untuk mengenang saat-saat para ibu berjuang melawan maut ketika melahirkan nyawa-nyawa baru pada bayi-bayi baru. Tapi juga untuk memastikan, bahwa begitu nyawa seorang manusia hadir ke muka bumi, maka tidak ada seorangpun manusia yang berhak mencabutnya, menghilangkannya. Hanya Allah yang berhak mematikan hamba-hamba-Nya.

Maka perlindungan atas nyawa yang sudah melalui perjalanan panjang seperti itu, harus terus dilakukan sampai akhir hayatnya. Itulah mengapa Islam memberi aturan yang sangat ketat dan hukuman yang sangat keras bagi siapapun yang menghilangkan nyawa orang lain.

Menghilangkan hidup orang lain adalah dosa besar, yang ancaman hukumannya amat berat, membuat bulu kuduk merinding dan jiwa menjadi gentar dan takut. Allah swt berfirman, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An Nisa’:93)

Dan untuk mencegah agar perbuatan itu tidak terjadi, Al Qur’an membuat aturan qishash; sebuah hukuman berupa balasan yang sepadan terhadap sebuah kejahatan yang dilakukan sebagai peringatan. Ketika pembunuhan itu dianggap sebagai musuh kehidupan, perusak sendi-sendi sosial, dan penghancur hak untuk hidup, qishash diberlakukan untuk mencipatakan rasa takut dalam diri manusia, dan sebagai jaminan untuk keberlangsungan hidup bagi semanya. Allah berfirman, “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 179)

Dari semua penjelasan di atas, nyata sudah, bahwa setiap kita harus memuliakan nyawa. Nyawa kita snediri, atau nyawa anak-anak kita, dan nyawa manusia seluruhnya, berusaha menjaganya danmempertahankannya, betapapun keadaan yang sulit memaksa kita untuk bekerja keras, berkorban dengan segala daya dan upaya.

Al Qur’an Bicara Tentang Nyawa (part 1)

Nyawa adalah faktor utama kehidupan. Karena itu, Al Qur’an yang mencintai kehidupan

, begitu memuliakannya. Al Qur’an berbicara tentang kemuliaan dan kehormatan jiwa manusia serta hak dan fungsinya dalam kehidupan ini; bahwa hidupa dalah pemberian Allah kepada manusia, agar ia mampu menunaikan tugas-tugasnya di atas muka bumi ini, seperti firman Allah swt, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan

manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Untuk tujuan itu, jika kita perhatikan, maka ayat-ayat yang bicara tentang nyawa l

ebih banyak kepada soal perlindungandan pemeliharaan. Allah mengharamkan segala perbuatan yang bertujuan menghilangkan hak hidup, apapun bentuknya dan bagaimanapun caranya, serta memberikan ancaman yang berat kepada siapa saja yang menghilangkan nyawa, tanpa alasan yang dibenarkan syariat.

Allah menyadarkan kita tentang bagaimana proses perjalanan kehidupan kita. “Dan s

ungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya

air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami menjadikannya makhluk yang berbentuk lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. Al Mu’minun: 12-14).

Begitulah kehidupan ini kita nikmati. Begitulah jalan dan prosesnya. Begitu pulakuasa Allah yang dengan lembut memberi sentuhan-Nya pada diri kita.

Tetapi pada saat yang sama, Allah juga mengabarkan, bahwa proses menjadi manusia itu sendiri ada yang berlanjut dengan usia yang panjang. Ada juga yang hanya untuk waktu yang singkat.

Tetapi, yang harus kita pahami, bahwa tidak seorang pun yang berhak mengakhiri nyawa dari calon makhluk-makhluk yang diciptakan Allah itu. Maka, begitu ada bayi baru yang lahir ke muka bumi, dengan nyawa yang masih dilekatkan Allah pada bayi itu, kita wajib berusaha keras agar nyawa bayi tersebut tidak hilang. Seperti apapun kondisi fisik dari bayi tersebut. Tanpa kecuali.

Setiap bayi lahir dalam keadaan yang lemah. Ia sangat memerlukan bantuan dan campur tangan orang dewasa untuk untuk mempertahankan nyawanya. Terlebih bagi bayi-bayi yang lahir dengan kondisi tidak sempurna.

Maka siapapun yang berjuang untuk menyelamatkan nyawa bayi-bayi itu, sesungguhnya telah berjuang untuk menyelamatkan kehidupan. Sebab tidak seorang pun tahu, kelak bayi itu akan menjadi orang seperti apa.

Setelah bayi itu tumbuh dari tak berdaya menjadi anak-anak, Allah tetap mengingatkan kita semua untuk terus menghargai nyawa mereka. Kadang, tema nyawa in harus disadarkan dengan hal-hal yang bersifat materi. Sebab, orang tua seringkali menganggap bahwa anak-anak adalah beban. Itu situasi yang jauh lebih rumit. Sebab anak-anak sudah mulai menjadi makhluk yang utuh. Sudah punya perasaan, sudah mulai punya pikiran. Emosi dan suasana psikologis mereka sudah tumbuh. Maka menjaga nyawa mereka, apalagi bila hanya takut rezeki, menjadi tema penting lainnya yang diwanti-wanti oleh Allah.

Maka Allah swt juga melarang kita menyingkirkan anak-anak dari kehidupan kita, hanya karena ada rasa khawatir akan menyusahkan kita, atau ikut memakan sebagian harta kita. Allah menegaskan, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al Isra’:31)

Sabtu, 16 Juli 2011

Menjadi Peserta Kehidupan yang Syukur (part 3)

Kedua, memastikan selalu ada kebaikan yang bertambah.

Hidup ini adalah sebuah nikmat. Tapi sedikit di antara kita yang menyadarinya. Kelak semua kita akan tersadar manakala hidup itu sudah terputus; berharap kembali kepada kehidupan semula, walau hanya sesaat, karena kita semua merasa sangat sedikitmengambil manfaat dari kehidupan itu. Allah berfirman, “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al Mu’minun: 99-100)

Berharap kembali, walau hanya sebentar. Berharap hidup lagi, walau hanya sesaat. Berharap memaksimalkan amal walau hanya di akhir hayat. Allah ceritakan penyesalan itu, “Dia mengatakan: “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini.”

Nikmat ini tidak disadari oleh kebanyakan manusia. Padahal jika direnungkan lebih dalam, sesungguhnya inilah modal utama kita. Apalah artinya karunia kekayaan yang melimpah, yang memenuhi seluruh ruang di dunia ini jika Allah menghentikan kehidupan kita. Apakah kita bisa mersaakan nikmatnya karunia yang mana kala kita sudah mati?

Andaikan semua perbendaharaan dunia dikumpulkan hanya untuk kita, sekali lagi hanya untuk kita, tidak memberi guna jika Allah mencabut nyawa kita.

Karakter seseorang beriman adalah selalu membekali diri untuk kehidupan akhiratnya, dan terus berusaha untuk menambah pahalanya dari bermacam jenis kebaikan dan amal shalih. Karakter ini yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah saw, “Berbahagialah orang yang bertambah usianya dan baik pula amalnya.”

Hadits lain mengatakan, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang panjang usianya dan baik pula amalnya.”

Hadirnya pertambahan dan peningkatan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lebih baik, dari kedudukan yang satu kepada kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dekat kepada Allah swt, adalah merupakan pembuktian syukur kita atas karunia hidup yang Allah berikan kepada kita.

Hidup yang dengannya Allah berikan banyak kesenangan kepada kita saat ini, adalah karunia yang harus dimanfaatkan hingga ajal itu datang dengan sendirinya, sesuai waktu yang telah ditentukan. Maka berhati-hatilah untuk tidak menjadi penyebab hilangnya nyawa kita, atau perginya kehidupan itu dari kita, dengan cara apapun. Dan selalu berusaha menghadirkan kebaikan di setiap jenak usia kita yang tersisa, sebab dengan begitu kita telah menjadi peserta kehidupan yang pandai bersyukur.

Menjadi Peserta Kehidupan yang Syukur (part 2)

Selama bertahun-tahun kita menikmati kehidupan ini. Bahkan hingga hari ini pun kita masih merasakan nikmat tersebut, dan semoga terus berlanjut hingga beberapa tahun ke depan. Kita menjadi peserta kehidupan, kita adalah makhluk yang terpilih untuk merasakan indanhnya kehidupan. Ketika hidup ini masih berjalan, kita tak boleh memutusnya, atau sekedar bercita-cita untuk segera berpisah dengannya, karena tekanan keadaan yang begitu rumit dan kacau.
Sabda Rasulullah begitu jelas mengingatkan kita, “Janganlah seseorang berangan-angan untuk mati karena sebuah kesulitanyang menimpanya, jikapun harus berangan-angan hendaklah ia mengucapkan, “Ya Allah hidupkanlah aku sepanjang kehidupan itu baik bagiku, dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku.”

Dan Nabi kita, telah pula menjelaskan betapa dahsyatnya ancaman bagi orang yang merusak hidupnya sendiri. Bunuh diri adalah salah satu dosa paling besar yang kita kenal dalam agama ini; dibalas dengan neraka di hari kiamat kelak. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia ini, dia akan diazab dengan (perbuatan serupa) itu pada hari kiamat.”

Siksaan Allah kepada orang yang bunuh diri adalah seperti yang dia lakukan untuk menghilangkan nyawanya yang mahal itu, seperti yang beliau tegaskan, “Siapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung dan lalu jiwanya terbunuh, maka dia berada di neraka Jahannam selalu menjatuhkan diri di dalamnya, kekal dan dikekalkan di dalam selama-lamanya. Siapa yang menegak racun dan lalu dirinya terbunuh maka racunnya ada di tangannya dan kelak selalu dia hisap di neraka Jahannam, kekal dan dikekalkan selama-lamanya. Dan siapa yang membunuh dirinya dengan benda tajam, maka benda tajam itu ada di tangannya dan dengannya dia menikamkan perutnya sendiri di hari kiamat, di dalam neraka Jahannam kekal dan dikekalkan selamanya.”

Menyakiti jiwa, merendahkan nyawa, menghinakan kehidupan adalah pertanda hidup akan berakhir tragis; su’ul khatimah. Dan menjadi penghuni neraka. Di zaman Nabi SAW, ada seorang laki-laki yang selalu ikut berperang bersama Nabi. Tidak ada sengketa dan peperangan dengan kaum musyrikin, kecuali dia ikut serta. Tapi, suatu ketika Rasulullah SAW membuat pernyataan mengejutkan : “Dia di neraka.”

Sahabat terlongok mendengar sabda beliau. “Kalau dia di neraka, lalu siapa yang di surga?” kata mereka penuh tanya. Ini karena mereka melihat keberanian dan ketangguhan lelaki tersebut. Namun ketika ia merasakan sakit karena terluka ia tiba-tiba mengeluarkan panah dari sarungnya dan menghujamkan ke dadanya hingga nyawanya lepas oleh tangannya sendiri. Seorang sahabat sambil berlari mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan engkau adalah benar-benar utusan-Nya yang telah berkata bahwa lelaki itu di neraka. Allah telah membenarkan ucapanmu. Ia telah mengambil anak panah dari sarungnya dan kemudian bunuh diri.”

Sebuah kisah juga menyebutkan, bahwa seorang laki-laki terluka dan dia tidak kuat menanggung sakitnya sehingga mengambil sebuah pisau lalu melukai tangannya. Darah tidak berhenti mengucur hingga ia tewas. Allah pun berfirman tentangnya dalam sebuah qudsi, mengorbankan jiwanya. Aku haramkan surga untuknya.”

Ini semua adalah hadits shahih yang menegaskan kepada kita betapa buruknya perbuatan yang tak menghargai nyawa, sekaligus mendefinisikan bahwa perbuatan itu menunjukkan lemahnya iman, sedikitnya sabar, juga rusaknya akal dan buruknya cara pandang. Naudzubillah.

Sungguh, nyawa yang paling mulia di hadapan Allah swt adalah nyawa kita. Nyawa yang kita punyai sekarang ini. Nyawa adalah amanah yang ada di leher kita. Maka janganlah kita coab untuk mencelakainya. Janganlah berani coba melakukan perbuatan buruk terhadapnya. Karena kita bertanggungjawab. Kita punya kewajiban besar menjaganya. Dan setiap usaha kita untuk menghancurkannya adalah termasuk dosa besar, menjadi sebab datangnya azab Allah dan murka-Nya. Karena itu, sekali lagi, Allah melarang kita mencederainya sebab Ia menyayangi kita. Maka jadikan diri kita sebagai peserta hidup yang syukur, dengan selalu menjaga dan menyayanginya.

Menjadi Peserta Kehidupan yang Syukur (part 1)

Kehidupan adalah karunia Allah yang pertama kepada kita. Kehidupan pula yang menjadi nikmat terbesar kita sebelum yang lain kita peroleh. Kehidupan menjadi pangkal dari segala nikmat dan juga pusat dari semuanya. Benar bahwa ada kenikmatan yang lebih utama di dunia ini; iman dan Islam. Tapi iman dan Islam datang setelah kita menerima kenikmatan hidup terlebih dahulu. Keduanya menjadi tidak berarti manakala kehidupan tersebut tak diberikan. Apa artinya kekuatan menghadapi cobaan kalau kita tak pernah hidup merasakan beban dan kepedihan. Apa peran Islam buat kita kalau toh kita tak pernah ada di muka bumi ini. Iman dan Islam adalah karunia paling utama yang butuh sarana bernama kehidupan, agar kehidupan itu menemukan arah yang benar, dan agar iman dan Islam itu punya tempat aplikasi dan pembuktian.

Firman Allah swt, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. Kemudian kamu pasti ditanyai tentang hari itu tentang kenikmatan yang kamu megah-megahkan di dunia itu,” adalah salah satu ayat yang menjelaskan bahwa semua yang dilimpahkan Allah kepada kita di dunia ini adalah nikmat yang besar. Namun ada perbedaan pendapat dari para pemilik ilmu tentang manakah nikmat yang paling besar? Para ahli mantiq dan ilmu kalam mengatakan “Nikmat yang paling besar adalah kehidupan.” Sementara para ahli hadits mengatakan, “Nikmat terbesar adalah nikmat Islam.” Dan ini pula yang dipahami Ibnu Taimiyah dalam ayat di atas, serta kita semua. Tapi sekali lagi, iman dan Islam butuh sarana bernama hidup. Begitu juga nikmat-nikmat Allah yang lain. Semua karunia yang kita terima butuh sarana bernama kehidupan untuk kita nikmati. Maka ayat “Dzat yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kalian yang terbaik amalanya,” (QS. Al Mulk: 3) menegaskan bahwa kita perlu hidup dulu untuk bisa mengetahui kualitas iman dan Islam kita yang terwujud dalam kualitas dan kuantitas amal ibadah yang kita kerjakan. Kita membutuhkan hidup untuk melihat perbedaan kualitas di antara kita. Karena itu hidup menjadi penting. Karena itu hidup menjadi karunia yang besar. Dan ketika kita menjadi salah seorang yang dikaruniai nikmat ini, kita perlu mensyukurinya.

Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan agar kita menjadi peserta kehidupan yang syukur. Pertama, selalu menghormati dan menjaga kemuliaan kehidupan tersebut.

Ada banyak pemandangan di sekitar kita yang mengharuskan kita banyak bersyukur dengan kehidupan yang Allah berikan ini. Khususnya dari mereka dengan takdir dan keadaan tertentu, memerlukan perjuangan keras demi mempertahankan hidupnya, seperti bayi-bayi yang lahir secara prematur.

Seperti yang pernah diberitakan, seorang ibu di Jerman melahirkan bayinya dalam usia 15 minggu; 22 minggu lebih cepat dari kehamilan ibu normal. Bayi perempuan yang bernama Kimberly itu hanya memiliki berat 10,5 ons, dengan panjang hanya 25,9 cm. Ukuran yang sangat kecil. Dokter pun, segera memasukkan bayi super mungil itu ke inkubator.

Dengan kemungkinan hidup yang amat sangat kecil, kedua orang tua Kimberly hanya bisa berdoa dan berharap bantuan yang maksimal dari para dokter yang menanganinya. Enam bulan berlalu, ternyata bayi tersebut mampu bertahan. Dia tercatat sebagai bayi terkecil yang pernah lahir di Jerman dan masih bertahan hingga kini.

Ketika ibunya, Petra Muller, sudah diperkenankan memegang anaknya itu, ia berujar, “Sungguh luar biasa indah ketika dia bisa memegang jari saya dalam tangannya yang kurus. Dia seperti beruang kecil yang hendak memeluk tiga batang pohon. Dia seperti berkata jangan tinggalkan aku, ibu.”

Tidak hanya Kimberly, ada ribuan anak manusia yang lahir prematur dan harus berjuang keras demi merebut hidupnya. Dan bersyukurlah kita, karena Allah memudahkan hidup kita, menjadikan kita peserta kehidupan yang benar-benar menikmati kehidupan.