Selasa, 17 Desember 2013

Tawanan Perang Badar

Kaum muslim menang dalam perang Badar. Banyak para pemimpin kaum Quraisy yang terbunuh pada perang ini, termasuk Abu Jahal. Selain itu, kaum muslim juga menawan tujuh puluh orang Quraisy, kebanyakan para pemimpin dan orang berpengaruh. Umar ibn al-Khathab termasuk orang yang paling keras ingin membunuh para tawanan perang ini. Tetapi, para tawanan tersebut masih ingin hidup dengan jalan penebusan. 

Oleh karenanya, mereka mengutus seseorang kepada Abu Bakar agar membicarakan hal ini dengan Rasulullah. 

“Ia kerabat kita. Orang Quraisy paling lembut dan punya belas kasihan tinggi. Kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih daripada dia,” ujar mereka. Utusan itu berkata kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, di antara kita ada yang masih menjadi ayah, saudara, paman atau saudara sepupu kita. Bicarakalah dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada kami atau menerima penebusan kami.” 

Abu Bakar berjanji akan mengusahakannya. Namun, mereka khawatir Umar akan mempersulit keadaan. Mereka lalu mengutus orang kepada Umar dengan pesan yang sama seperti kepada Abu Bakar. Tentu saja, Umar menatap mereka penuh curiga. Akhirnya, kedua sahabat besar ini menemui Nabi.

 Abu Bakar menemui Rasul dengan permintaan agar Rasul bermurah hati kepada para tawanan perang itu atau menerima tebusan mereka. Akan tetapi, Umar tidak setuju dan tetap keras. “Ya Rasulullah,” katanya, “mereka musuh-musuh Allah. Dulu mereka mendustakan, memerangi, dan mengusir engkau. Penggal saja leher mereka! Mereka biang orang-orang kafir, pemuka orang-orang sesat. Orang-orang musyrik itu sudah dihinakan Tuhan,” Rasulullah tidak merespons keduanya, beliau lalu pergi menuju rumah. Beliau tinggal sejenak di sana, dan kembali keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam persoalan ini. Satu pihak mendukung ide Abu Bakar, dan yang lain memihak Umar. 

Rasul mengajak mereka bermusyawarah. Rasul membuat suatu perumpamaan tentang Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar seperti Mikail, malaikat yang memiliki sifat pemaaf kepada hamba-Nya. Dari kalangan Nabi seperti Ibrahim dan Isa. Sedang Umar seperti Jibril, malaikat yang membawa kemurkaan dari Tuhan dan bencana terhadap musuh-musuh-Nya. Di lingkungan para Nabi, ia seperti Nuh dan Musa. 

Kaum muslim pun berunding dan akhirnya memutuskan bahwa mereka dapat mengabulkan cara penebusan itu. Tetapi, tidak lama setelah itu, turun wahyu kepada Rasul, “Tidak pantas bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (al-Anfal [8]:67). 

***

Selang beberapa waktu, datang Mikraj ibn Hafs hendak menebus Suhail ibn Amr yang tertawan oleh kaum muslim dalam perang badar. Suhail ini seorang orator ulung. Melihat Mikraj melakukan tebusan, cepat-cepat Umar menemui Rasulullah. Umar rupanya keberatan kalau orang itu lolos tanpa mendapat suatu pelajaran. Oleh karenanya, ia berkata kepada Rasul, “Ya Rasulullah, izinkan aku mencabut dua gigi seri Suhail ibn Amr ini agar lidahnya menjulur keluar dan ia tak dapat lagi berpidato mencerca Anda di mana-mana.” 

Akan tetapi, Rasulullah menjawab, “Aku tidak akan memperlakukannya secara kejam supaya Allah tidak memperlakukan aku demikian, sekalipun aku seorang Nabi.” 

Ucapan Umar itu menunjukkan kegigihannya mengenai pendapatnya untuk tidak membiarkan para tawanan yang berkemampuan kembali mengadakan perlawanan kepada kaum muslim. Dan wahyu turun memperkuat pendapat Umar mengenai para tawanan perang. Hal ini membuat Umar makin dekat di hati Nabi.

Senin, 16 Desember 2013

Umar dan Asal Mula Azan

Umat Islam hidup di Madinah dengan tenang. Mereka menjalankan shalat tanpa rasa takut. Mereka akan berkumpul untuk melaksanakan shalat jika waktunya tiba, tanpa ada panggilan shalat. Rasulullah ingin menggunakan terompet seperti orang Yahudi untuk memanggil kaum muslim. Namun, beliau tidak menyukai terompet. Lalu ada yang mengusulkan lonceng sebagai penanda waktu shalat sebagaimana orang Nasrani. Untuk membuat lonceng itu, Umar diberi tugas membeli kayu. Saat itu Umar sedang tidur di rumahnya. Setelah bangun dan tahu tentang rencana lonceng itu,ia berkata, “Jangan gunakan lonceng, tetapi untuk shalat serukan azan!”

Esoknya, Umar pergi menemui Rasulullah memberitahukan mimpinya. “Ya Rasulullah, semalam aku seperti bermimpi tentang laki-laki berpakaian hijau lewat di depanku membawa lonceng. Aku bertanya kepadanya ‘Hai hamba Allah, apakah lonceng itu akan kau jual? Orang itu balik bertanya, ‘Memangnya ingin kau gunakan untuk apa?’ ‘Sebagai panggilan sahlat,’ jawabku. ‘Maukah aku tunjukkan yang lebih baik daripada itu?’ tanyanya lagi. Kemudian, ia menyebutkan kepadaku lafal azan.

Rasulullah lalu menyuruh Bilal dan ia menyerukan azan dengan lafal tersebut. Umar di rumahnya mendengar suara azan itu, ia keluar menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, demi yang mengutus Anda dengan sebenarnya, aku bermimpi seperti itu.” 

Sejak saat itu, suara azan bergema di Madinah setiap hari lima kali, dan menjadi semacam penegasan bahwa kaum muslim kini telah unggul.

Sabtu, 14 Desember 2013

Keunikan Hijrah Umar

Beberapa hari setelah turun wahyu perintah hijrah, Rasulullah menyuruh para sahabat di Makkah untuk berhijrah ke Madinah dan bergabung dengan kaum Anshar. Beliau mewanti-wanti agar mereka meninggalkan Makkah dengan cara berhati-hati, tidak bergerombol dan menyelinap di waktu malam atau siang hari. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai diketahui kaum musyrik Quraisy hingga mereka akan bergerak merintangi perjalanan. 

Para sahabat mengenal betul apa yang diperintahkan Rasul, mereka lalu berhijrah dengan diam-diam meninggalkan kota Makkah tanpa sepengetahuan penduduknya, kecuali Umar ibn al-Khathab. Sebuah riwayat yang dihubungkan kepada Ali ibn Abi Thalib menuturkan, “Setahu saya, semua Muhajirin berhijrah dengan sembunyi-sembunyi, kecuali Umar ibn al-Khathab. Sebelum berangkat hijrah, ia membawa pedang dan menyelempangkan busur dengan menggenggam anak panah di tangan dan sebatang tongkat komando. Ia menuju Ka’bah saat orang-orang Quraisy tengah berkumpul di sana. 

“Umar melakukan tawaf di Ka’bah tujuh putaran dengan khusyuk, lalu menuju ke Maqam Ibrahim untuk melaksanakan shalat. Setelah itu, setiap lingkaran orang banyak di datanginya satu per satu seraya berkata kepada mereka, “Wajah-wajah celaka! Allahmenistakan orang-orang ini! Aku akan berhijrah ke Madinah melaksanakan perintah Rasulullah. Barang siapa yang ingin diratapi ibunya, ingin anaknya menjadi yatim, atau istrinya menjadi janda, hendaklah ia menemuiku di balik lembah ini!” 

Dan, tidak ada seorang pun dari kaum Quraisy yang berani menjawab tantangan Umar ini. Konon, di belakang Umar, berhijrahlah jemaah kaum muslim yang lemah.

Jumat, 13 Desember 2013

Membuat Dua Barisan Kokoh

Usai memeluk Islam, Umar merasa prihatin menyaksikan kaum muslim harus menanggung siksaan dari kaum musyrik Quraisy. Mereka juga harus bersembunyi untuk beribadah. Biasanya kaum muslim melaksanakan ibadah di celah-celah bukit yang jauh agar tak diketahui kaum musyrik Quraisy. Suatu hari, Umar bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, bukankah hidup dan mati kita dalam kebenaran?” 

Rasul menjawab, “Memang benar! Demi Allah, hidup dan mati kalian dalam kebenaran,” 

“Kalau begitu,” kata Umar, “mengapa kita sembunyi-sembunyi? Demi Yang Mengutus Anda demi kebenaran, kita harus keluar!” 

Setelah itu, Rasulullah menuju Ka’bah bersama para sahabat dalam dua barisan. Di barisan pertama ada Umar ibn al-Khathab dan di barisan satu lagi ada Hamzah ibn al-Muththalib. Keduanya menjadi semacam benteng bagi kaum muslim yang lemah. Kedua barisan ini merupakan lambang keperkasaan danmenunjukkan kekuatan dakwah Islam. 

Ketika dua barisan ini memasuki masjid, kaum Quraisy tak berbuat apa-apa, hanya memandanginya. Tak ada yang berani mendekati kedua barisan tersebut, apalagi mengganggunya. 

Abdullah ibn Mas’ud berkomentar, “Islamnya Umar adalah pembebasan, hijrahnya adalah kemenangan, dan kepemimpinannya adalah rahmat. Sebelum Umar memeluk Islam, kami tak dapat menjalankan shalat di Ka’bah. Setelah ia menjadi muslim, ia menantang mereka sampai mereka membiarkan kami sehingga kami dapat melaksanakan shalat.” Dalam kesempatan lain, Abdullah berkata, “Sejak Umar bergabung ke dalam Islam, umat Islam merasa mempunyai harga diri.”

Rabu, 11 Desember 2013

Umar Mengumumkan Keislamannya

Abdullah ibn Umar menceritakan keislaman ayahnya, “Ayahku, Umar, berkata setelah ia memeluk Islam, ‘Siapa orang Quraisy yang lebih cepat menyampaikan berita?” Orang-orang menjawab Jamil ibn Ma’mar al-Jumahi. Pagi itu, ayahku pergi menemui Jamil dan berkata kepadanya, ‘Kau tahu, Jamil, bahwa aku telah menjadi muslim dan telah menganut agama Muhammad?” ia tidak membantah, tetapi berdiri dan diikuti oleh Umar. 

Jamil lalu ke masjid dan berdiri di pintunya menghadap orang-orang Quraisy yang berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Jamil lalu berteriak dengan keras, ‘Wahai kaum Quraisy! Ketahui;ah, Umar ibn al-Khathab sudah meninggalkan agama leluhurnya!” Umar berkata dari belakangnya, “Bohong! Aku hanya memluk Islam dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad hamba dan Rasul-Nya!”

Kontan saja, mereka gaduh dan ramai-ramai mencerca Umar. Mereka juga saling bersitegang di antara mereka sendiri, juga dengan Umar, hingga matahari mulai tinggi. Karena sudah letih, Umar lalu duduk. Mereka mengelilinginya. Umar kemudian berkata, lakukanlah sekehendak kalian. Aku bersumpah! Kalau kami sudah mencapai tiga ratus orang, akan kami tinggalkan semua perdebatan itu.’ 

Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki tua. Ia mengenakan jubah katun bergaris-garis. Ia berdiri di depan mereka seraya berkata, ‘Ada apa ini?’ ‘Umar meninggalkan agama leluhurnya!’ jawab mereka. Laki-laki tua itu berkata, ‘Lalu? Jika seseorang mencari sesuatu untuk dirinya sendiri, kalian mau apa? Kalian kira Bani Adi ibn Ka’ab akan menyerahkan angotanya begitu saja? Biarkan dia! Seolah mereka pakaian yang sudah tak terpakai.’” 

Usai hijrah, Umar ditanya oleh anaknya, Abdullah, “Ayah siapa laki-laki yang menghardik orang-orang Quraisy di Makkah dulu tatkala mereka hendak menyerang ayah?” Umar menjawab, “Dia al-Ash ibn Wa’il dari Bani Sahm.” 

Berita tentang keislaman Umar tersebar luas di kalangan kaum musyrik Quraisy. Kaum muslim merasa beroleh kekuatan berkat keislaman Umar. Hal itu juga akan berpengaruh besar di kalangan kaum musyrik Quraisy, juga kota Makkah pada umumnya. Tidak ada keislaman seseorang yang mengguncangkan kaum musyrik Quraisy sebesar guncangan yang ditimbulkan keisalaman Umar ibn al-Khathab. Mereka memperhitungkan sungguh-sungguh akibat yang ditimbulkan oleh keislamannya.

Senin, 09 Desember 2013

Paman, Aku Telah Memeluk Islam

Sehari setelah memeluk Islam, Umar mendatangi pamannya, Amr ibn Hisyam, atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Jahal. Umar mengetuk pintu rumahnya, dan Abu Jahal keluar menyambut kedatangannya seraya berkata, “Selamat datang keponakanku. Ada keperluan apa engkau datang?”

“Paman, aku datang untuk memberitahumu bahwa aku sekarang telah memeluk Islam,” ujar Umar. “Aku ini beriman kepada Allah serta utusan-Nya, Muhammad. Kubenarkan semua ajaran yang dibawa olehnya.”

Bagai disambar geledek mendengar pengakuan tak terduga dari keponakannya, Abu Jahal membanting pintu sembari membentak, “Celakalah engkau! Kau datang membawa berita seburuk itu! Tuhan mengutuk engkau dengan yang engkau percayai.”

Kemudian Umar berkeliling ke rumah-rumah pembesar kaum Quraisy. Ia menantang mereka dan berharap ada yang berani bergelut dengannya, tapi tak ada satu pun yang berani.

Minggu, 08 Desember 2013

Islamnya Umar ibn al-Khathab

Umar keluar dari rumah adiknya menuju tempat yang ditunjukkan Khabbab untuk menemui Rasulullah dan sahabatnya. Ia menuju rumah al-Arqam ibn Abil Arqam. Rumah inilah yang dijadikan tempat oleh beliau dan beberapa sahabatnya untuk melakukan dzikir dan beribadah kepada Allah. Kali ini, Umar datang ke sana bukan untuk mencelakakan Muhammad dan menghentikan dakwah Islam, melainkan untuk ikut bergabung dalam kelompok orang-orang yang beriman. 

Beberapa sahabat yang berada di dekat pintu kaget dan terkejut dengankedatangan Umar. Mereka segera melapor kepada Rasulullah. Hamzah, paman Nabi, berkata, “Bukalah pintu! Jika Tuhan menghendaki kebaikan dan Islam bagi Umar, kita sambut dia. Itulah yang kita harapkan. Namun, jika Allah menghendaki yang sebaliknya, kita bunuh dia dengan pedangnya sendiri!” 

Dengan suara terputus-putus dan gemetar, Umar menjawab, “Ya Rasulullah, aku datang Rasulullah. Mendengar Rasul bertakbir, semua yang hadir di tempat itu mengerti bahwa Umar memeluk Islam. Mereka pun bertakbir hingga suaranya terdengar orang yang berada di Masjidil Haram. Mereka juga merasa gembira dan memanjatkan puji syukur kepada Allah. 

*** 

Dalam Masnad Ahmad disebutkan riwayat lain tentang keislaman Umar. Umar bertutur, “Saya hendak menghadang Rasulullah. Saya lihat dia sudah mendahului saya ke masjid. Saya berdiri di belakangnya. Ia memulai bacaannya dengan surah al-Haqqah. Saya sungguh kagum dengan susunan Al-Quran itu. Dalam hati, saya berkata, ‘Sungguh dia memang seorang penyair seperti dikatakan Quraisy’. Seolah menjawab isi hati saya, Rasulullah kemudian membaca ayat Bahwa ini sungguh perkataan Rasul yang mulia. Itu bukanlah perkataan seorang penyair, sedikit sekali kamu percaya? (al-Haqqah [69]:40-41). 

Saya berkata, ‘Dia seorang dukun’. Kemudian, Rasul membaca ayat Juga bukan perkataan seorang peramal; sedikit sekali kamu mau mnerima pelajaran. (Ini adalah wahyu) yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Dan kalau dia mengada-adakan perkataan atas nama Kami, pasti Kami tangkap dia dengan tangan kanan, kemudian pasti Kami potong pembuluh jantungnya. Maka tak ada seorang pun dari kamu dapat mempertahankannya. (al-Haqqah [69]:42-47) sampai akhir surah. Maka, Islam sungguh menyentuh hati saya begitu dalam.”

Senin, 02 Desember 2013

Tersentuh Bacaan Al-Quran

Umar sungguh prihatin melihat permusuhan antara penduduk Makkah yang masih musyrik dengan umat Islam pengikut Muhammad. Ia berniat ingin mengembalikan ketenangan Makkah dengan jalan mengikis sumber penyebab perpecahan tersebut. Hati Umar memberontak. Lama sekali ia memikirkan ingin menghabisi Muhammad dan ajarannya itu. 

Suatu hari, Umar berjalan terburu-buru ke rumah al-Arqam. Tampak jelas di matanya kemarahan yang besar. Tangan kanannya menggenggam sebilah pedang. Di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Nu’aim ibn Abdullah dari Bani Zuhrah. Nu’aim memperhatikan muka Umar yang beringas lalu bertanya, “Hendak ke mana engkau, wahai Umar?” tanya Nu’aim, “rasanya aku belum pernah melihat engkau begitu marah dengan menghunus pedang seperti ini!” 

“Aku hendak menghabisi Muhammad yang telah memecah-belah persatuan Quraisy, menganggap bodoh para pemuka mereka, menghina keyakinan mereka dan telah mencaci-maki tuhan-tuhan mereka,“ jawab Umar. 

Mendengar jawaban Umar yang penuh emosi itu, Nu’aim segera menukas, “Demi Allah, kalau begitu, sungguh engkau telah ditipu nafsumu sendiri. Apakah berjalan di muka bumi dengan tenang setelah engkau membunuh Muhammad? Mengapa engkau tidak kembali saja kepada keluargamu sendiri dan membereskan mereka terlebih dahulu. 

 “Apa maksudmu? Apakah engkau juga sudah meninggalkan agama kita dan memeluk agama Muhammad? Lalu, ada apa dengan keluargaku?” Umar balik bertanya. 

“Wahai Umar,” ujar Nu’aim, “maukah engkau kutunjukkan hal yang aneh? Ipar sekaligus sepupumu Sa’id ibn Zaid, dan adik perempuanmu, Fatimah, mereka telah memeluk Islam dan menjadi pengikut Muhammad! Kurasa lebih baik jika engkau mengurus saudaramu sendiri!” 

Kontan saja, berita itu menambah kemarahannya. Darahnya bagai mendidih. “Apakah benar mereka berdua telah melakukannya? Jika semua itu benar, pasti mereka akan kubunuh dengan cara amat keji!” bisik Umar dalam hati. 

Umar segera mengalihkan tujuannya dan pergi ke rumah adiknya dengan dengan gejolak amarah yang tidak bisa ditahannya lagi. Sesampainya di pintu rumah Fatimah dan hendak masuk, ia mendengar alunan bacaan yang tidak dikenalnya. Setelah mendengarkan sebentar, dia pun masuk dan berteriak memanggil sang adik. 

Saat itu, Khabbab ibn al-Arat sedang berada di dekat Fatimah dan Sa’id tengah membacakan beberapa ayat Al-Quran dengan disimak oleh mereka berdua. Ketika mereka mendengar teriakan Umar, Khabbab segera bersembunyi di salah satu sudut rumah, sedangkan Fatimah mengambil lembaran Al-Quran yang disimaknya tadi dan menyembunyikannya di balik lengan bajunya agar tidak diketahui Umar. 

Umar masuk dan bertanya, “Suara apakah yang kudengar tadi?”

“Engkau tidak mendengar apa-apa,” jawab Fatimah.

“Aku dengar kalian berdua telah menjadi pengikut agama Muhammad,” lanjut Umar.

Setelah berkata demikian, Umar langsung menyerang iparnya, Zaid ibn Sa’id dan menghajarnya. Fatimah kemudian bangkit untuk menolong suaminya dan berdiri di antara suaminya dan Umar yang sedang marah. Akan tetapi, ia juga tidak luput dari amarah Umar. Umar menampar wajah Fatimah dengan keras hingga berdarah. 

Setelah diperlakukan demikian, mereka kemudian berkata, “Benar, kami telah memeluk Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sekarang lakukanlah apa saja yang kau sukai! Islam tidak akan pernah pudar dalam hati kami.” 

Melihat darah mengalir dari wajah adiknya, Umar merasa menyesal lalu berkata, “Berikan kepadaku lembaran yang kamu baca tadi agar aku bisa mengetahui apa yang sebenarnya dibawa Muhammad.” 

“Kami takut engkau akan merusaknya,” jawab Fatimah.

“Jangan takut! Aku bersumpah akan mengembalikannya bila aku sudah selesai membacanya,” Umar meyakinkan. 

Ucapan Umar menimbulkan keinginan Fatimah agar kakaknya mau memeluk Islam. Ia berkata, “Wahai saudaraku, sesungguhnya engkau masih najis karena kesyirikanmu dan lembaran itu tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci!” 

Umar lalu bangkit membersihkan diri dengan mandi. Setelah itu, barulah Fatimah memberikan lembaran mushaf Al-Quran. Pada lembaran itu, Umar membaca surah Thaha. Ketika sampai pada ayat ke-14 ‘Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku,’ ia berkata, “Alangkah indah dan mulianya bacaan ini!” 

Setelah mendengar ucapan Umar, Khabbab yang sedari tadi sembunyi, keluar dari persembunyiannya, lalu berkata kepada Umar, “Wahai Umar, sungguh aku berharap engkaulah orang yang diistimewakan Allah karena kemarin aku mendengar Rasulullah berdoa, “Ya Allah kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua orang laki-laki yang paling engkau cintai di antara keduanya: Umar ibn al-Khathab atau Amr ibn Hisyam.’ Kini, Allah telah memilihmu, wahai Umar.” 

 “Wahai Khabbab, kalau begitu bawalah aku kepada Muhammad hingga aku bisa menerimanya dan aku akan memeluk Islam,” ujar Umar.