Kamis, 24 April 2014

Tidak Percaya Rasul Wafat

Umar tidak siap menerima kenyataan Rasulullah telah wafat. Umar mengalami keguncangan jiwa hebat usai mendengar Rasul telah wafat. Ia menyangkal keras pernyataan itu dan mengatakan bahwa nabi tidak wafat. Ia mendustakan setiap orang yang berkata bahwa beliau telah wafat. Bahkan, Al-Mughirah ibn Syu’bah, nyaris dipukul ketika memberitahukan  dan meyakinkan Umar atas kenyataan yang pahit ini.

Al-Mughirah ditarik ke masjid, lalu kepada jemaah yang sedang berkumpul dalam suasana bela sungkawa, Umar berkata dengan lantang dan wajah merah padam, “Yang mengatakan Rasulullah wafat adalah orang munafik! Demi Allah, beliau tidak wafat, melainkan pergi menghadap Allah seperti Musa ibn ‘Imran. Musa menghilang dari kaumnya selama 40 hari, kemudian kembali lagi ke tengah mereka. Sungguh, Rasulullah pasti akan kembali kepada kita seperti Musa. Orang yang berani mengatakan beliau telah wafat akan kupotong tangan dan kakinya!” sungguh, teriakan Umar yang datang bertubi-tubi itu telah didengar kaum muslim di masjid dan mereka jadi seperti orang kebingungan.

Mereka mengerumuni Umar dan hampir memercayai ucapannya. Beruntung tak lama kemudian Abu Bakar datang. Ia langsung ke rumah Aisyah untuk melihat jenazah Rasulullah yang sudah diselimuti kain burdah. Ia menyingkapkan selimut pada bagian wajah beliau, lalu menciumnya seraya berujar, “Alangkah harumnya saat engkau hidup dan tetap harum setelah engkau wafat!” Abi Bakar kemudian mengangkat dan memandangi kepala Rasul. Rasulullah benar-benar telah wafat. “Maut yang telah ditakdirkan Allah kini telah Anda alami, dan setelah itu Anda tidak akan mengalami maut lagi.”

Di luar, Umar masih berbicara tentang kepergian Nabi dan akan kembali. Abu Bakar segera keluar dan orang banyak memberikan jalan kepadanya. Ia mendekati Umar seraya mengingatkan, “Hai Umar! Tenanglah! Dengarkan apa yang hendak kukatakan!” Umar tidak menghiraukan dan terus saja berbicara dengan keras,  Abu bakar memberi isyarat kepada semua orang bahwa ia hendak berbicara. Akhirnya, Umar ditinggalkan orang banyak, mereka berkumpul di sekitar Abu Bakar.

Abu Bakar berkata, “Saudara-saudara! Ketahuilah barang siapa yang menyembah Muhammad , sesungguhnya beliau sudah wafat. Tetapi, barang siapa yang menyembah Allah, Dia tetap hidup dan tak akan wafat.” Ia membaca firman Allah, “Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul, apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa berbalik ke belakang maka ia tidak akan merugikan Allah sedikitpun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang berssyukur.” (Ali ‘Imran [3]: 144)

Ketika Umar mendengar firman Allah ini, ia jatuh tersungkur ke tanah. Kakinya lemah lunglai tak dapat menopang tubuhnya yang tegak dan besar. Ia dan semua orang seolah-olah  belum pernah mendengar firman Allah tersebut. Kini, Umar sadar dan keraguan kaum muslim mengenai wafatnya Rasulullah telah lenyap dari pikiran mereka.

Rabu, 23 April 2014

Setan Takut Kepadamu

Setelah Rasulullah kembali dari suatu peperangan, beliau didatangi seorang perempuan Arab. Dia ingin melaksanakan nazarnya bahwa jika Rasulullah kembali dengan selamat dari medan perang, dia akan memainkan musik di depan beliau. Rasul ternyata tidak keberatan. Seraya berkata, “Jika engkau bernazar demikian, mainkanlah musik itu sekarang!”

Perempuan itu lalu memainkan musiknya dengan tidak sungkan-sungkan lagi di depan Rasulullah. Tidak lama kemudian datanglah Abu Bakar, Ali dan Utsman. Perempuan itu terus saja memainkan musiknya. Kemudian datanglah Umar, perempuan itu berhenti memainkan alat musiknya dan meninggalkan tempat itu. Rasulullah tersenyum dan berkata, “Setan telah pergi karena takut kepadamu, hai Umar.”

***
 
Sa’ad ibn abi Waqqash menuturkan bahwa Rasulullah pernah berkata kepada Umar, “Demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah setan berpapasan denganmu dalam satu jalan kecuali ia akan memilih jalan lain selain jalan yang dilaluimu.” (HR Bukhari Muslim)

Kamis, 17 April 2014

Demi Allah, Aku Tidak Mau Mengambilnya!

Umar dikenal sebagai sahabat yang tegas, keras dan lugas. Ia sering bersikap tekstual. Adapun Ali ibn Abi Thalib lebih menonjolkan penafsiran kontekstual daripada tekstual, termasuk dalam memahami perintah Rasulullah. Mari kita ikuti kisah mereka berdua: 

Seusai perang Hunain, seperti biasa, Rasulullah membagi-bagikan ghanimah (rampasan perang) kepada pasukan yang ikut terlibat dalam peperangan. Empat perlima dibagikan secara merata sesuai dengan tugas masing-masing. Sedangkan seperlimanya, sesuai dengan ketentuan Al-Quran adalah hak Rasul secara utuh. Beliau berhak untuk memberikan kepada siapapun yang dikehendakinya, termasuk kerabat dan anggota keluarganya. 

Dalam pembagian ghanimah ini, Rasulullah selalu berusaha keras untuk bersikap hati-hati dan seadil-adilnya. Namun, selalu saja ada seseorang atau sekelompok tertentu yang merasa kurang mendapatkan keadilan. Salah seorang di antara mereka adalah Abbas ibn Mirdas, seorang mualaf yang baru saja memeluk Islam dan harus dijinakkan hatinya. Abbas ini sebelumnya terkenal sebagai penyair ulung. Syair-syairnya begitu populer pada zamannya. 

Terdorong oleh perasaan tidak puasnya, ia mencela Rasulullah dengan bersyair. Ketika hal ini sampai kepada Nabi, beliau segera bangkit dan marah seraya berkata, “Andai kata Rasululllah sudah tidak bisa berbuat adil siapa lagi yang akan menegakkan keadilan? Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat kepada Musa, saudaraku. Ia telah banyak disakiti oleh kaumnya melebihi apa yang kualami, tetapi ia tetap tabah dan sabar. Bawa ke sini orang itu, dan potong lidahnya!” 

Mendengar perintah Rasul tersebut, para sahabat, termasuk Umar dan Ali, langsung mencari si penyair itu. Ketika ia ditemukan, hampir saja Umar memotong lidahnya, sebagaimana pesan Nabi. Untunglah ada Ali. Ia segera menyeret si penyair yang sudah pucat pasi itu karena ketakutan. Mereka menuju ke sebuah lapangan yang masih dipenuhi binatang ternak hasil rampasan perang. 

Kepada Abbas, Ali ibn abi Thalib lalu berkata, “Ambillah (ternak-ternak dan harta ramapsan perang ini) sebanyak yang kamu suka.” 

“Apa! Begitukah cara Rasulullah memotong lidahku? Demi Allah, aku tidak mau mengambil sedikitpun,” ujar Abbas dengan rona merah padam karena malu. Sejak saat itu, Abbas tidak pernah mendendangkan lagi syair yang ditujukan kepada Rasulullah, kecuali puji-pujian.

Selasa, 15 April 2014

Biarkan Aku Memenggal Lehernya!

Menjelang keberangkatan kaum muslim untuk membebaskan kota Makkah dari kekuasaan kaum musyrik, seorang sahabat Muhajirin bernama Hathib ibn Abi Balta’ah secara diam-diam mengirim sepucuk surat rahasia kepada kaum Musyrik Quraisy melalui seorang wanita bayaran bernama Sarah. Surat itu menginformasikan rencana kaum muslim menyerbu Makkah. 

Rasulullah diberi tahu lewat wahyu. Beliau lalu memerintahkan Ali ibn Abi Thalib dan Zubair ibn ‘Awwam mengejar Sarah dan mengambil surat tersebut. Usai mendapatkannya, mereka berdua pulang lagi ke Madinah dan menghadap Nabi. Beliau lalu memanggil Hathib ibn Abi Balta’ah. Dengan suara lembut, beliau bertanya kenapa ia sampai berbuat seperti itu. 

Hathib menjawab dengan suara memelas, “Ya Rasulullah, aku bersumpah demi Allah, bahwa aku tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedikitpun tidak ada perubahan dalam hatiku. Akan tetapi, aku tidak punya hubungan keluarga atau kerabat dengan mereka itu. Aku hanya mempunyai seorang anak dan seorang istri di tengah-tengah mereka. Dengan surat itu, aku bermaksud hendak minta perlindungan mereka bagi anak istriku!” 

“Rasulullah,” sela Umar, “serahkan dia kepadaku, biar kupenggal lehernya. Dia seorang pengkhianat dan bermuka dua!” 

“Darimana engkau mengetahui itu, Umar?” sahut Rasul, “Mudah-mudahan Allah telah memberi kedudukan istimewa kepadanya sebagai ahli Badr! Lalu, Allah berfirman, ‘Berbuatlah sekehendakmu, karena sudah kumaafkan kamu.’” Setelah diam sejenak, Rasul menoleh kepada Hathib seraya berkata, “Hai Hathib, jangan berbuat seperti itu lagi. Engkau sudah kumaafkan!” 

Mendengar ucapan Rasulullah itu, Umar meneteskan air mata sambil berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui hakikat persoalannya.” 

*** 

Sebelum memasuki Makkah, malamnya, pasukan kaum muslim bermarkas di Juhfa. Mereka menyalakan api unggun untuk menggetarkan hati penduduk Makkah. Nabi menugaskan Umar malam itu sebagai ketua koordinator pengamanan pasukan. 

Al-Abbas, paman Rasul, malam itu sengaja membonceng Abu Sufyan menaiki bagal putih milik Nabi. Ia bermaksud menghadap Rasulullah dan menginginkan agar Abu Sufyan lebih baik minta perdamaian dengan beliau. Ketika keduanya melewati pasukan kaum muslim, mereka mengetahui bahwa itu adalah al-Abbas, paman Nabi, yang menunggangi bagal milik beliau. Namun, ketika keduanya melewati api unggun Umar, Umar melihatnya dan mengenali Abu Sufyan. Umar tahu bahwa al-Abbas hendak melindunginya. Umar berkata, “Oh, Abu Sufyan! Musuh Allah! Segala puji bagi Allah yang telah memberi kedudukan padamu tanpa ikatan dan perjanjian.” 

Umar pun segera lari menemui Rasulullah. Di depan al-Abbas, Umar berkata kepada Rasul, “Ya Rasulullah, ini Abu Sufyan, biarkanlah aku memenggal lehernya!” 

Al-Abbas cepat menukas, “Ya Rasulullah, aku sudah melindunginya.” Lalu, al-Abbas duduk dekat Rasul seraya berkata, “Demi Allah, tidak ada seorang pun yang bisa menyelamatkannya malam ini kecuali diriku.” Tentu saja, Umar geram mendengarnya. Ketika al-Abbas melihat hal itu, ia berkata lagi “Tenang, wahai Umar! Demi Allah, aku berbuat seperti ini karena ia berasal dari Bani Abdi Manaf. Seandainya, ia berasal dari Bani Adi (Kabilah Umar) tentu aku tidak akanberkata seperti ini.”

“Tenang, wahai Abbas!” tukas Umar, “Demi Allah, keislamanmu lebih aku sukai daripada keislaman al-Khathab andai ia memeluk Islam. Aku berbuat seperti ini karena aku tahu bahwa keislamanmu lebih disukai Rasulullah.” 

Ketika suasana kian memanas, Rasul berkata, “Pergilah, hai Abbas. Ajaklah ia ke tempat engkau dulu. Besok pagi, bawalah ia kemari!” Nabi berusaha mencegah terjadinya pertengkaran Umar dan al-Abbas.

Senin, 14 April 2014

Alangkah Indahnya Para Penunggangnya

Suatu hari, Umar melihat Rasulullah sedang bercengkerama dengan cucu beliau, Hasan dan Husain. Mereka bermain kuda-kudaan. 

Umar berkata, ”Hai anak, alangkah indahnya tunggangan kalian itu.“ Yang ditunggangi berkata, “Alangkah indahnya pula para penunggangnya.” 

*** 

Suatu ketika Rasulullah mencium cucunya, Hasan ibn Ali dan di samping beliau ada al-Aqra’ ibn Harits at-Tamimi. Al-Aqra’ berkata, “Aku mempunyai sepuluh anak, tapi tidak pernah aku mencium satu orangpun dari mereka.” 

Maka Rasulullah berkata, “Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak disayangi.” 

Di lain waktu, seorang Arab Badui datang menemui Rasulullah dan berkata,”Kalian menciumi anak-anak kecil, sedangkan kami tidak melakukannya!” 

Rasulullah berkata, “Aku tidaklah punya kuasa untuk menolongmu bila Allah mencabut rahmat dari hatimu.”

Minggu, 13 April 2014

Aku Tidak Bisa Mengunggulinya

Suatu hari, seperti biasa, para sahabat mengelilingi Rasulullah dalam majelis. Kali ini beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menyedekahkan hartanya di jalan Allah. Umar yang hadir di dalam majelis itu, berkata dalam hatinya, “hari ini, aku akan mengungguli Abu Bakar.” Kemudian Umar pulang ke rumah dan menyiapkan hartanya untuk ia sedekahkan. Ia kembali lagi menghadap Rasulullah. 

“Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Tanya Rasul. 

“Aku menyisakan setengah hartaku untuk mereka,” jawab Umar. 

Tak lama kemudian, Abu Bakar datang. Dia membawa seluruh hartanya. “Wahai Abu Bakar, apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” tanya Rasul. Abu Bakar menjawab, aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” 

Umar sungguh kagum dengan sikap Abu Bakar ini. Ia pun berkata dalam hati, ”Ternyata, aku tidak bisa mengungguli Abu Bakar selamanya.” 

*** 

Usai dilantik menjadi khalifah, Abu Bakar punya kebiasaan baru, yaitu pergi entah kemana sehabis shalat subuh. Umar sangat penasaran. Ia ingin sekali mengetahui kemana sang khalifah pergi. 

Maka, suatu hari, selepas shalat subuh, Umar membuntuti Abu Bakar dari kejauhan. Ternyata, Abu Bakar pergi ke suatu tempat yang agak jauh sambil membawa bungkusan. Akhirnya, Abu Bakar tiba di suatu kemah. Dan, tanpa sepengetahuannya, Umar mengintip dari balik batu besar. 

Kira-kira, apa yang akan dilakukan Abu Bakar di kemah jelek itu? tanya Umar dalam hati. Umar melihat di dalam kemah itu seorang wanita tua dan seorang anak perempuan yang masih kecil. Terlihat Abu Bakar mulai menyapu kemah, membersihkan sampah yang berserakan. Ia juga menyerahkan bungkusan yang dibawanya. Ternyata, bungkusan itu berisi makanan dan susu. Lalu, ia menyuruh mereka untuk segera memakannya. 

Ketika Abu Bakar berpamitan pulang, Umar segera menghampiri wanita tua itu. ”Wahai wanita tua, tahukah engkau siapa yang memberimu semua makanan ini?” 

“Aku tidak mengenalnya. Mataku sudah tidak bisa melihat. Setiap pagi, orang itu datang mengantarkan makanan dan susu, juga menyapu kemah,” ujar si wanita. 

“Ketahuilah, orang itu adalah Khalifah Abu Bakar. Sungguh, orang yang menggantikannya (sebagai khalifah) akan merasa berat.” Umar pun berlinang air mata.

Sabtu, 12 April 2014

Dia Seorang Munafik

Ketika Abdullah ibn Ubay meninggal, anaknya datang menghadap Rasulullah meminta gamis Rasul untuk kain kafan ayahnya. Beliau pun memberikannya. Ia pun meminta Rasul agar bersedia menshalati jenazah ayahnya. Namun, ketika Nabi berdiri hendak menshalatinya, Umar memegang baju Rasul seraya berkata, “Apakah engkau akan menshalati musuh Allah, wahai Rasulullah? Padahal ia telah mengerjakan keburukan, ketika Nabi berdiri hendak menshalatinya, Umar menghalangi beliau sampai di depan dada beliau. Umar memegang baju Rasul seraya berkata, “Apakah engkau akan menshalati musuh Allah, wahai Rasulullah? Padahal ia telah mengerjakan keburukan, dalam bilangan harinya?” 

Rasulullah yang penuh bijaksana tersenyum dan berkata, “Menyingkirlah dariku, hai Umar. Sesungguhnya aku diberikan pilihan, lalu aku memilih. Telah dikatakan kepadaku, apakah engkau akan meminta ampun bagi mereka atau tidak. Jika engkau memintakan ampunan bagi mereka sebanyak tujuh puluh kali, Allah tetap tidak akan mengampuninya. Aku tidak tahu apakah jika aku menambahnya lebih dari tujuh puluh lalu Allah akan mengampuninya atau tidak. Jika mengampuni, maka akan aku tambah.” 

Umar berkata lagi, ”Tetapi dia seorang munafik.” Namun, Rasulullah kemudian menshalatinya dan berjalan di belakang jenazah Abdullah ibn Ubay serta berdiri ketika penguburannya sampai selesai. Tidak lama kemudian, turunlah ayat, “Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan jangnlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan RasulNya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (at-Taubah[9]:84). 

Sejak saat itu, Rasulullah tidak pernah menshalati jenazah kaum munafik dan tidak pernah pula berdiri di pekuburan mereka sampai beliau meninggal dunia.

Jumat, 11 April 2014

Umar Gusar Karena Ulah Putrinya

Suatu hari, Umar datang menemui Hafshah untuk mengklarifikasikan kebenaran tindakan Rasulullah yang telah menceraikan putrinya itu. Umar melihat putrinya sedang berurai mata. Ia pun berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikan dirimu.” 

“Entahlah, aku tidak tahu,” jawab Hafshah masih terisak. 

Umar menukas, “Beliau telah menceraikan dirimu sekali, dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikan dirimu sekali lagi, aku tidak akan berbicara lagi kepadamu untuk selama-lamanya!”

Setelah itu, Umar keluar dari rumah Hafshah dan menuju ke masjid. Di sana ia melihat kaum muslimin sedang menggaris-garis batu, menundukkan kepala seraya berkata, “Rasulullah telah meceraikan istri-istri beliau.” Para sahabat yang berkumpul tampak bersedih dan tidak ada seorangpun yang berani mengklarifikasikan berita itu langsung kepada Nabi. 

Umar tidak lagi mampu bersabar. Ia menduga Hafshah adalah penyebab persoalan. Ia ingin segera mengklarifikasikan kebenaran berita ini. Akhirnya, Umar berangkat menuju gudang yang digunakan oleh Rasulullah untuk menyendiri. Umar berkali-kali meminta izin untuk menemui Rasulullah. Tetapi, tidak ditanggapi oleh Rabah, pelayan beliau. Akhirnya, Umar memohon dengan segala kerendahan hati kepada Rabah, “Wahai Rabah, tolong sampaikan kepada Rasulullah bahwa aku meminta izin untuk menemui beliau. Sungguh, aku merasa seharusnya beliau sudah mengerti bahwa aku ini datang karena persoalan Hafshah. Demi Allah, sekiranya beliau memerintahkan aku memenggal kepala Hafshah, sungguh dia akan kupenggal sekarang juga.” 

Suara Umar itu terdengar oleh Rasulullah. Beliau merasa terharu dan mengizinkan Umar untuk segera masuk. Umar melayangkan pandangannya ke sekitar bilik itu, lalu menangis. 

“Mengapa engkau menangis, wahai putra al-Khathab?” tanya Rasul. 

Umar menunjuk ke tikar tempat Rasulullah berbaring. Di tikar itulah beliau berbaring di atas tanah hingga bekasnya tampak di badan beliau. Lalu, Umar menunjuk ke arah wadah makanan yang tidak ada isinya, kecuali sedikit gandum dan sayur. 

Umar menahan air matanya seraya berkata, “Ya Rasulullah, apakah engkau merasa susah karena istri-istrimu? Jika benar engkau sudah menceraikan mereka maka Allah tetap menyertai engkau, demikian juga jibril, Mikail, saya, Abu Bakar dan semua kaum muslim!” 

Rasulullah tersenyum mendengar kata-kata Umar. Beliau berusaha menenangkan hati dan pikiran Umar sambil menerangkan bahwa beliau tidak menceraikan istri-istrinya, melainkan sekadar memisahkan diri dari mereka selama sebulan. 

 Mendengar penuturan Nabi, Umar kembali tenang. Tidak mau membuang waktu, ia minta izin dan keluar menuju masjid untuk mengabarkan kepada orang-orang tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangga Rasulullah. Akhirnya, semua orang kembali tenang dan desas-desus tentang rumah tangga Nabi berakhir. Sejurus kemudian, Rasulullah datang dan membacakan firman Allah, “Dan ingatlah ketika secara rahasia Nabi membicarakan suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya (Hafshah). Lalu dia menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan peristiwa itu kepadanya (Nabi), lalu Nabi memberitahukan (kepada Hafshah) sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain. Maka ketika dia (Nabi) memberitahukan pembicaraan itu kepadanya (Hafshah), dia bertanya, ‘Siapa yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Yang memberitahukan kepadaku adalah Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Teliti.” 

Jika kamu berdua (Hafshah danAisyah) bertobat kepada Allah maka sungguh hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran); dan jika kamu berdua saling bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sungguh Allah menjadi pelindungnya dan (juga) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya. 

Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.” (at-Tahrim [66] : 3-5)

Kamis, 10 April 2014

Saya akan Pukul Lehernya

Suatu ketika, Hafshah dan para istri Rasulullah lainnya meminta jatah belanja lebih. Mari kita ikuti penuturan Imam muslim dalam Shahih-nya. 

Suatu ketika Abu Bakar dan Umar meminta izin kepada Rasulullah untuk menemuinya, dan beliaupun mengizinkan. Sebenarnya saat itu, mereka berdua menemui beliau karena sebelumnya beliau tidak tamapak keluar pada waktu shalat, sehingga kau muslimin bertanya-tanya apa gerangan yang menghalangi beliau? 

Abu bakar dan Umar menjumpai Rasulullah sedang duduk dalam keadaan masygul (resah) di tengah-tengah para istrinya yang juga sedang masygul dan diam. Melihat demikian, Umar berkata kepada Rasulullah, saya akan mengatakan sesuatu yang akan membuat Anda tertawa,” Rasulullah lalu memandang Umar sambil menunggu apa yang hendak dikatakan oleh Umar. 

Kemudian, Umar melanjutkan, “Ya Rasulullah, bila istri saya meminta belanja kepada saya maka saya akan tinju lehernya.” 

Maka, beliau pun tertawa seraya berkata, “Mereka itu sekarang di sekelilingku meminta uang belanja!” 

Mendengar penuturan Rasulullah seperti itu, Umar segera menghampiri Hafshah dan memukul leher putrinya itu (dalam riwayat lain dicekik), demikian juga Abu Bakar kepada Aisyah. Mereka berdua berkata, “Kalian meminta yang tidak ada pada Rasulullah!” 

Hafshah dan Aisyah menjawab, “Demi Allah, kami sama sekali tidak meminta kepada Rasulullah sesuatu yang tidak beliau punyai.” 

Dalam versi lain diceritakan, setelah para istri Rasulullah menyampaikan tuntutan meminta tambahan nafkah, akhirnya beliau menegaskan bahwa beliau tidak dapat memenuhi tuntutan mereka. Jika mereka bersikeras, beliau akan bertindak tegas. Beliau akan meninggalkan mereka selama beberapa waktu, memberi mereka kesempatan untuk berpikir dan memilih kehidupan dunia. Jika hukuman seperti itu tak membuat mereka jera, beliau akan menceraikan mereka. 

Dalam peristiwa ini, turunlah firman Allah, “Wahai Nabi! Katakanlahkepada istri-istrimu, ‘Jika kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah agar kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang terbaik. Dan jika kamu menginginkan Allah dan Rasul-Nya dan negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kamu.’” (Al-Ahzab [33]:28-29) 

Usai turunnya ayat di atas, Rasulullah menemui para istrinya dan mengajukan dua alternatif seperti ayat di atas. Ternyata, keinginan mereka semua sama, merasa cukup dengan kebahagiaan yang dinikmati bersama Rasulullah. 

*** 

Senada dengan kisah di atas, suatu hari, para wanita Quraisy mengadu kepada Rasulullah dengan suara yang keras. Mereka menuntut suami mereka agar memberikan nafkah lebih banyak daripada hari-hari sebelumnya. Namun, ketika Umar meminta izin untuk masuk, para wanita itu terdiam dan cepat-cepat mengenakan hijab mereka hingga Rasul tertawa. Umar berkata,”Semoga Allah menggembirakan engkau, wahai Rasulullah.” 

Rasulullah berkata, “Aku heran dengan wanita-wanita yang tadi berada di sini. Ketika mereka mendengar suaramu mereka terdiam dan segera mengenakan hijabnya.” 

Umar berkata, “Wahai Rasulullah, engkau lebih berhak mereka takuti.” Lalu, Umar berpaling kepada para wanita itu seraya berkata, “Wahai wanita-wanita yang memusuhi dirinya sendiri! Patutkah engkau takut kepadaku, sedangkan engkau tidak takut kepada Rasulullah?” 

Salah seorang di antara mereka menjawab, “Kami memang lebih takut kepada engkau karena engkau lebih kasar dan lebih keras hati daripada Rasulullah.”

Selasa, 08 April 2014

Ditentang sang Istri

Suatu hari, Umar bercerita kepada Ibnu Abbas tentang penentangan istrinya. 

“Sungguh, di zaman Jahiliah dulu, perempuan-perempuan tidak kami hargai sehingga Allah memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka.” 

“Ketika aku sedang dalam suatu urusan,” lanjut Umar, “tiba-tiba istriku berkata, ‘Coba engkau berbuat begini atau begitu.’ Jawabku, ‘Ada urusan apa engkau di sini dan perlu apa engkau dengan urusanku?’ Dia pun membalas, ‘Aneh sekali engkau ini. Engkau tidak mau ditentang, padahal putrimu dan istri-istri Rasulullah menentangbeliau hingga membuat beliau marah.’ 

“Ketika mendengar hal itu, aku cepat-cepat mengambil mantelku dan pergi menemui Hafshah, putriku. ‘Anakku, benarkah engkau menentang Rasulullah hingga beliau merasa gusar sepanjang hari?’ tanyaku” 

‘Ya, memang kami menentangnya,’ jawab Hafshah. 

“Aku lalu menasihati putriku, ‘Kuperingatkan engkau akan siksaan Tuhan serta kemurkaan RasulNya. Anakku, engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu. Dan kalau tidak karena aku, engkau tentu sudah diceraikan.’ 

“Selanjutnya aku pergi menemui istri Nabi yang lainnya, Ummu salamah. Aku masih ada kekerabatan dengannya. Aku mengajukan pertanyaan seperti yang diajukan kepada putriku.” 

“Ummu Salamah menjawab, ‘Aneh sekali engkau ini, Umar! Engkau mau ikut campur dalam segala hal, sampai-sampai mau mencampuri urusan rumah tangga Rasulullah!” 

Umar melanjutkan ceritanya, “Kata-katanya memngaruhiku sehingga aku tidak jadi melakukan apa yang sudah aku rencanakan. Aku pun akhirnya pergi.”

Senin, 07 April 2014

Menawarkan sang Putri

Hafshah, putri Umar, merasa terpukul atas kematian sang suami, Khunais ibn Hudzafah, usai Perang Badar, Sang ayah, Umar ibn al-Khathab, juga sedih dan prihatin melihat putrinya yang masih muda dan harus menjanda, kehilangan masa mudanya, sering duduk menyendiri, dan nyaris kehilangan gairah hidup. Umar mulai berpikir, menimbang, dan memutuskan untuk mencarikan teman hidup bagi Hafshah. Pilihannya jatuh kepada Abu Bakar, seorang muslim yang paling dicintai Rasulullah. Umar berharap, semoga dengan sifat tenggang rasa dan kelembutannya, Abu Bakar dapat membimbing putrinya menjadi wanita yang lebih lembut dan toleran. Karena, ia menyadari, Hafshah mewarisi watak dan sifat dirinya yang keras, tegas dan bersemangat tinggi. 

 Tanpa ragu, Umar berangkat ke rumah Abu Bakar. Setibanya di sana, ia mengutarakan keinginannya dan menawarkan putrinya, Hafshah, untuk menjadi istri Abu Bakar. Namun Abu Bakar bergeming, tidak menjawab apa-apa untuk menanggapi maksud Umar. Tentu saja, Umar kesal dan marah melihat sikap Abu Bakar demikian. Ia pun berpaling dari hadapan Abu Bakar dengan perasaan sangat kecewa. 

Sepulang dari rumah Abu Bakar, Umar melangkahkan kakinya menuju rumah Utsman ibn Affan yang ketika itu belum lama ditinggal wafat istrinya, Ruqayyah bint Muhammad. Ia menghimbau agar Utsman bersedia menikah dengan Hafshah. Ia juga berharap mudah-mudahan Allah memilih Utsman sebagai suami Hafshah karena menurut penilaiannya, Utsman pun sama baiknya dengan Abu Bakar serta cocok menjadi suami putrinya. Di luar dugaan, Utsman minta waktu untuk menjawab penawaran Umar tersebut. 

Setelah lewat beberapa hari, Utsman datang menemui Umar dan menyampaikan jawabannya, “Saya belum mempunyai keinginan untuk menikah lagi saat ini.” Kontan saja, Umar hamper pecah dadanya karena rasa marah menghadapi susasana yang Tegan itu. Umar merasa tak dapat lagi menguasai gejolak hatinya yang meluap-luap. Ia tak dapat menahan kesabarannya. Didorong oleh rasa marahnya, umar menuju rumah Rasulullah dengan bermaksud hendak mengadukan perlakuan dua sahabatnya yang menolak Hafshah. Ia masih berpikir, kenapa putrinya, Hafshah, bisa ditolak oleh dua sahabatnya? Padahal, menurutnya, Hafshah itu wanita muda, cantik, dan bertakwa. 

Umar masuk rumah Rasulullah dalam keadaan tidak dapat menguasai diri lagi karena marah dan sakit hati. Rasulullah menyambut kedatangan Umar dengan lemah lembut dan wajah berseri-seri. Beliau menanyakan permasalahan yang sedang dihadapi sahabatnya itu. Umar mengutarakan isi hatinya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, kutawarkan Hafshah kepada Abu Bakar untuk diperistri. Ia bergeming seperti batu, lalu tersenyum tanpa mengatakan sesuatu. Ia seolah menghinaku! Kemudian kudatangi Utsman dan kutawarkan Hafshah menjadi istrinya. Ia malah kelihatan jemu padaku dan menatap lekat wajahku. Ia meminta waktu untuk berpikir, tapi akhirnya ia pun tidak bersedia menikah dengan Hafshah putriku.” 

Rasulullah yang bijaksana tersenyum mendengar penuturan Umar. Lalu, beliau berkata mengejutkan, wahai Umar, Hafshah akan diperistri oleh orang yang lebih baik dari pada Utsman dan Utsman akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Hafshah.” Umar mengulang sabda Nabi itu dengan kekaguman yang mendadak muncul, “Hafshah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Utsman?” 

Meski tidak dinyatakan secara terus terang, Umar menangkap apa yang dimaksud Nabi. Ia merasa terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, wajahnya kini bersinar karena kebahagiaan. Maka, cepat-cepat ia angkat kaki membawa berita gembira ini dan menyampaikannya kepada setiap orang yang dicintainya. Orang pertama yang ditemuinya adalah Abu Bakar. Ketika melihat wajah Umar yang berseri-seri, Abu Bakar lekas mengerti tentang rahasia kegembiraannya. Abu bakar mengulurkan tangannya seraya mengucapkan selamat kepada Umar. 

Imam Bukhari menuturkan dialog dua sahabat besar ini. Abu Bakar bertanya pada Umar, “Apakah kamu merasa marah kepadaku ketika kamu menawarkan Hafshah kepadaku dan aku tidak memberikan jawaban sedikitpun?” 

Umar menjawab, “Benar. Ketika itu, aku memang agak marah.”

“Aku tidak memberikan jawaban kepadamu ketika kamu menawarkan Hafshah kepadaku semata-mata karena aku pernah mendengar Rasulullah pernah menyebut nama putrimu. Aku tidak ingin membuka rahasia beliaukepadamu. Namun seandainya beliau membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah,” jelas Abu Bakar. 

Kini, Umar memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi Hafshah, sedangkan penolakan Utsman hanya karena ia masih sedih atas wafatnya Ruqayyah. Selanjutnya, kedua sahabat ini pergi bersama-sama. Abu Bakar menuju ke kediaman Aisyah untuk memberi tahu rencana pernikahan Rasulullah dengan Hafshah, dan Umar pulang ke rumah untuk memberi tahu putrinya bahwa ia akan menikah dengan seorang termulia. Umat Islam turut merasa gembira mendengar kabar pernikahan yang agung ini.

Minggu, 06 April 2014

Allah Telah Mendahuluiku

Suatu hari, Umar mendatangi sekelompok orang Yahudi yang sedang membaca Taurat. Umar terkejut mengetahui isi Taurat ternyata membenarkan Al-Quran. Ketika itu, Nabi lewat di depan mereka, Umar lalu berkata kepada orang Yahudi itu, “Aku memohon agar engkau menjawab pertanyaanku ini dengan jujur. Apakah engkau tahu bahwa sesungguhnya beliau citu (seraya menunjuk kepada Rasulullah) adalah utusan Allah?” 

Salah seorang dari mereka menjawab, “Memang benar kami tahu bahwa sesungguhnya dia adalah utusan Allah.” 

“Mengapa engkau tidak mau mengikutinya?” Tanya Umar. 

“Ketika kami bertanya tentang penyampai kenabiannya,” kata mereka, “Muhammad menjawab Jibril. Dialah musuh kami yang menurunkan kekerasan, kekejaman, peperangan dan kecelakaan.” 

“Siapa nama malaikat yang biasa diutus kepada Nabimu?” Tanya Umar. 

“Mikail yang menurunkan hujan dan rahmat” 

“Bagaimana kedudukan mereka itu di sisi Tuhannya?” tanya Umar lagi. 

Mereka menjawab, “Yang satu di sebelah kanan-Nya, dan yang lain di sebelah kiri-Nya.” 

Umar berkomentar, “Tidak sepatutnya Jibril memusuhi pengikut Mikail dan tidak patut Mikail berbuat baik kepada musuh Jibril. Sesungguhnya aku percaya bahwa Jibril, Mikail dan Tuhan mereka akan berbuat baik kepada mereka, dan akan berperang kepada siapa yangmengumumkan perang kepada mereka.” 

Kemudian Umar bergegas mengejar Rasulullah untuk menceritakan hal itu. Namun, sesampainya ke hadapan Nabi, beliau berkata, “Apakah engkau ingin aku membacakan ayat yang baru saja turun kepadaku?” 

“Tentu saja, wahai Rasulullah,” jawab Umar. 

Rasul lalu membaca ayat,”Katakanlah (Muhammad) ‘Barang siapa menjadi musuh Jibril maka (ketahuilah) bahwa dialah yang telah menurunkan (Al-Quran) ke dalam hatimu dengan izin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang terdahulu, dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman. Barang siapa menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir.” (al-Baqarah [2]: 97-98). 

Umar berkata, “Ya Rasulullah, demi Allah, aku tinggalkan kaum Yahudi tadi dan menghadap engkau justru untuk menceritakan hal yang kami percakapkan. Akan tetapi, rupanya Allah telah mendahuluiku.”