Kamis, 24 April 2014

Tidak Percaya Rasul Wafat

Umar tidak siap menerima kenyataan Rasulullah telah wafat. Umar mengalami keguncangan jiwa hebat usai mendengar Rasul telah wafat. Ia menyangkal keras pernyataan itu dan mengatakan bahwa nabi tidak wafat. Ia mendustakan setiap orang yang berkata bahwa beliau telah wafat. Bahkan, Al-Mughirah ibn Syu’bah, nyaris dipukul ketika memberitahukan  dan meyakinkan Umar atas kenyataan yang pahit ini.

Al-Mughirah ditarik ke masjid, lalu kepada jemaah yang sedang berkumpul dalam suasana bela sungkawa, Umar berkata dengan lantang dan wajah merah padam, “Yang mengatakan Rasulullah wafat adalah orang munafik! Demi Allah, beliau tidak wafat, melainkan pergi menghadap Allah seperti Musa ibn ‘Imran. Musa menghilang dari kaumnya selama 40 hari, kemudian kembali lagi ke tengah mereka. Sungguh, Rasulullah pasti akan kembali kepada kita seperti Musa. Orang yang berani mengatakan beliau telah wafat akan kupotong tangan dan kakinya!” sungguh, teriakan Umar yang datang bertubi-tubi itu telah didengar kaum muslim di masjid dan mereka jadi seperti orang kebingungan.

Mereka mengerumuni Umar dan hampir memercayai ucapannya. Beruntung tak lama kemudian Abu Bakar datang. Ia langsung ke rumah Aisyah untuk melihat jenazah Rasulullah yang sudah diselimuti kain burdah. Ia menyingkapkan selimut pada bagian wajah beliau, lalu menciumnya seraya berujar, “Alangkah harumnya saat engkau hidup dan tetap harum setelah engkau wafat!” Abi Bakar kemudian mengangkat dan memandangi kepala Rasul. Rasulullah benar-benar telah wafat. “Maut yang telah ditakdirkan Allah kini telah Anda alami, dan setelah itu Anda tidak akan mengalami maut lagi.”

Di luar, Umar masih berbicara tentang kepergian Nabi dan akan kembali. Abu Bakar segera keluar dan orang banyak memberikan jalan kepadanya. Ia mendekati Umar seraya mengingatkan, “Hai Umar! Tenanglah! Dengarkan apa yang hendak kukatakan!” Umar tidak menghiraukan dan terus saja berbicara dengan keras,  Abu bakar memberi isyarat kepada semua orang bahwa ia hendak berbicara. Akhirnya, Umar ditinggalkan orang banyak, mereka berkumpul di sekitar Abu Bakar.

Abu Bakar berkata, “Saudara-saudara! Ketahuilah barang siapa yang menyembah Muhammad , sesungguhnya beliau sudah wafat. Tetapi, barang siapa yang menyembah Allah, Dia tetap hidup dan tak akan wafat.” Ia membaca firman Allah, “Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul, apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa berbalik ke belakang maka ia tidak akan merugikan Allah sedikitpun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang berssyukur.” (Ali ‘Imran [3]: 144)

Ketika Umar mendengar firman Allah ini, ia jatuh tersungkur ke tanah. Kakinya lemah lunglai tak dapat menopang tubuhnya yang tegak dan besar. Ia dan semua orang seolah-olah  belum pernah mendengar firman Allah tersebut. Kini, Umar sadar dan keraguan kaum muslim mengenai wafatnya Rasulullah telah lenyap dari pikiran mereka.

Rabu, 23 April 2014

Setan Takut Kepadamu

Setelah Rasulullah kembali dari suatu peperangan, beliau didatangi seorang perempuan Arab. Dia ingin melaksanakan nazarnya bahwa jika Rasulullah kembali dengan selamat dari medan perang, dia akan memainkan musik di depan beliau. Rasul ternyata tidak keberatan. Seraya berkata, “Jika engkau bernazar demikian, mainkanlah musik itu sekarang!”

Perempuan itu lalu memainkan musiknya dengan tidak sungkan-sungkan lagi di depan Rasulullah. Tidak lama kemudian datanglah Abu Bakar, Ali dan Utsman. Perempuan itu terus saja memainkan musiknya. Kemudian datanglah Umar, perempuan itu berhenti memainkan alat musiknya dan meninggalkan tempat itu. Rasulullah tersenyum dan berkata, “Setan telah pergi karena takut kepadamu, hai Umar.”

***
 
Sa’ad ibn abi Waqqash menuturkan bahwa Rasulullah pernah berkata kepada Umar, “Demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah setan berpapasan denganmu dalam satu jalan kecuali ia akan memilih jalan lain selain jalan yang dilaluimu.” (HR Bukhari Muslim)

Kamis, 17 April 2014

Demi Allah, Aku Tidak Mau Mengambilnya!

Umar dikenal sebagai sahabat yang tegas, keras dan lugas. Ia sering bersikap tekstual. Adapun Ali ibn Abi Thalib lebih menonjolkan penafsiran kontekstual daripada tekstual, termasuk dalam memahami perintah Rasulullah. Mari kita ikuti kisah mereka berdua: 

Seusai perang Hunain, seperti biasa, Rasulullah membagi-bagikan ghanimah (rampasan perang) kepada pasukan yang ikut terlibat dalam peperangan. Empat perlima dibagikan secara merata sesuai dengan tugas masing-masing. Sedangkan seperlimanya, sesuai dengan ketentuan Al-Quran adalah hak Rasul secara utuh. Beliau berhak untuk memberikan kepada siapapun yang dikehendakinya, termasuk kerabat dan anggota keluarganya. 

Dalam pembagian ghanimah ini, Rasulullah selalu berusaha keras untuk bersikap hati-hati dan seadil-adilnya. Namun, selalu saja ada seseorang atau sekelompok tertentu yang merasa kurang mendapatkan keadilan. Salah seorang di antara mereka adalah Abbas ibn Mirdas, seorang mualaf yang baru saja memeluk Islam dan harus dijinakkan hatinya. Abbas ini sebelumnya terkenal sebagai penyair ulung. Syair-syairnya begitu populer pada zamannya. 

Terdorong oleh perasaan tidak puasnya, ia mencela Rasulullah dengan bersyair. Ketika hal ini sampai kepada Nabi, beliau segera bangkit dan marah seraya berkata, “Andai kata Rasululllah sudah tidak bisa berbuat adil siapa lagi yang akan menegakkan keadilan? Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat kepada Musa, saudaraku. Ia telah banyak disakiti oleh kaumnya melebihi apa yang kualami, tetapi ia tetap tabah dan sabar. Bawa ke sini orang itu, dan potong lidahnya!” 

Mendengar perintah Rasul tersebut, para sahabat, termasuk Umar dan Ali, langsung mencari si penyair itu. Ketika ia ditemukan, hampir saja Umar memotong lidahnya, sebagaimana pesan Nabi. Untunglah ada Ali. Ia segera menyeret si penyair yang sudah pucat pasi itu karena ketakutan. Mereka menuju ke sebuah lapangan yang masih dipenuhi binatang ternak hasil rampasan perang. 

Kepada Abbas, Ali ibn abi Thalib lalu berkata, “Ambillah (ternak-ternak dan harta ramapsan perang ini) sebanyak yang kamu suka.” 

“Apa! Begitukah cara Rasulullah memotong lidahku? Demi Allah, aku tidak mau mengambil sedikitpun,” ujar Abbas dengan rona merah padam karena malu. Sejak saat itu, Abbas tidak pernah mendendangkan lagi syair yang ditujukan kepada Rasulullah, kecuali puji-pujian.

Selasa, 15 April 2014

Biarkan Aku Memenggal Lehernya!

Menjelang keberangkatan kaum muslim untuk membebaskan kota Makkah dari kekuasaan kaum musyrik, seorang sahabat Muhajirin bernama Hathib ibn Abi Balta’ah secara diam-diam mengirim sepucuk surat rahasia kepada kaum Musyrik Quraisy melalui seorang wanita bayaran bernama Sarah. Surat itu menginformasikan rencana kaum muslim menyerbu Makkah. 

Rasulullah diberi tahu lewat wahyu. Beliau lalu memerintahkan Ali ibn Abi Thalib dan Zubair ibn ‘Awwam mengejar Sarah dan mengambil surat tersebut. Usai mendapatkannya, mereka berdua pulang lagi ke Madinah dan menghadap Nabi. Beliau lalu memanggil Hathib ibn Abi Balta’ah. Dengan suara lembut, beliau bertanya kenapa ia sampai berbuat seperti itu. 

Hathib menjawab dengan suara memelas, “Ya Rasulullah, aku bersumpah demi Allah, bahwa aku tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedikitpun tidak ada perubahan dalam hatiku. Akan tetapi, aku tidak punya hubungan keluarga atau kerabat dengan mereka itu. Aku hanya mempunyai seorang anak dan seorang istri di tengah-tengah mereka. Dengan surat itu, aku bermaksud hendak minta perlindungan mereka bagi anak istriku!” 

“Rasulullah,” sela Umar, “serahkan dia kepadaku, biar kupenggal lehernya. Dia seorang pengkhianat dan bermuka dua!” 

“Darimana engkau mengetahui itu, Umar?” sahut Rasul, “Mudah-mudahan Allah telah memberi kedudukan istimewa kepadanya sebagai ahli Badr! Lalu, Allah berfirman, ‘Berbuatlah sekehendakmu, karena sudah kumaafkan kamu.’” Setelah diam sejenak, Rasul menoleh kepada Hathib seraya berkata, “Hai Hathib, jangan berbuat seperti itu lagi. Engkau sudah kumaafkan!” 

Mendengar ucapan Rasulullah itu, Umar meneteskan air mata sambil berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui hakikat persoalannya.” 

*** 

Sebelum memasuki Makkah, malamnya, pasukan kaum muslim bermarkas di Juhfa. Mereka menyalakan api unggun untuk menggetarkan hati penduduk Makkah. Nabi menugaskan Umar malam itu sebagai ketua koordinator pengamanan pasukan. 

Al-Abbas, paman Rasul, malam itu sengaja membonceng Abu Sufyan menaiki bagal putih milik Nabi. Ia bermaksud menghadap Rasulullah dan menginginkan agar Abu Sufyan lebih baik minta perdamaian dengan beliau. Ketika keduanya melewati pasukan kaum muslim, mereka mengetahui bahwa itu adalah al-Abbas, paman Nabi, yang menunggangi bagal milik beliau. Namun, ketika keduanya melewati api unggun Umar, Umar melihatnya dan mengenali Abu Sufyan. Umar tahu bahwa al-Abbas hendak melindunginya. Umar berkata, “Oh, Abu Sufyan! Musuh Allah! Segala puji bagi Allah yang telah memberi kedudukan padamu tanpa ikatan dan perjanjian.” 

Umar pun segera lari menemui Rasulullah. Di depan al-Abbas, Umar berkata kepada Rasul, “Ya Rasulullah, ini Abu Sufyan, biarkanlah aku memenggal lehernya!” 

Al-Abbas cepat menukas, “Ya Rasulullah, aku sudah melindunginya.” Lalu, al-Abbas duduk dekat Rasul seraya berkata, “Demi Allah, tidak ada seorang pun yang bisa menyelamatkannya malam ini kecuali diriku.” Tentu saja, Umar geram mendengarnya. Ketika al-Abbas melihat hal itu, ia berkata lagi “Tenang, wahai Umar! Demi Allah, aku berbuat seperti ini karena ia berasal dari Bani Abdi Manaf. Seandainya, ia berasal dari Bani Adi (Kabilah Umar) tentu aku tidak akanberkata seperti ini.”

“Tenang, wahai Abbas!” tukas Umar, “Demi Allah, keislamanmu lebih aku sukai daripada keislaman al-Khathab andai ia memeluk Islam. Aku berbuat seperti ini karena aku tahu bahwa keislamanmu lebih disukai Rasulullah.” 

Ketika suasana kian memanas, Rasul berkata, “Pergilah, hai Abbas. Ajaklah ia ke tempat engkau dulu. Besok pagi, bawalah ia kemari!” Nabi berusaha mencegah terjadinya pertengkaran Umar dan al-Abbas.

Senin, 14 April 2014

Alangkah Indahnya Para Penunggangnya

Suatu hari, Umar melihat Rasulullah sedang bercengkerama dengan cucu beliau, Hasan dan Husain. Mereka bermain kuda-kudaan. 

Umar berkata, ”Hai anak, alangkah indahnya tunggangan kalian itu.“ Yang ditunggangi berkata, “Alangkah indahnya pula para penunggangnya.” 

*** 

Suatu ketika Rasulullah mencium cucunya, Hasan ibn Ali dan di samping beliau ada al-Aqra’ ibn Harits at-Tamimi. Al-Aqra’ berkata, “Aku mempunyai sepuluh anak, tapi tidak pernah aku mencium satu orangpun dari mereka.” 

Maka Rasulullah berkata, “Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak disayangi.” 

Di lain waktu, seorang Arab Badui datang menemui Rasulullah dan berkata,”Kalian menciumi anak-anak kecil, sedangkan kami tidak melakukannya!” 

Rasulullah berkata, “Aku tidaklah punya kuasa untuk menolongmu bila Allah mencabut rahmat dari hatimu.”

Minggu, 13 April 2014

Aku Tidak Bisa Mengunggulinya

Suatu hari, seperti biasa, para sahabat mengelilingi Rasulullah dalam majelis. Kali ini beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menyedekahkan hartanya di jalan Allah. Umar yang hadir di dalam majelis itu, berkata dalam hatinya, “hari ini, aku akan mengungguli Abu Bakar.” Kemudian Umar pulang ke rumah dan menyiapkan hartanya untuk ia sedekahkan. Ia kembali lagi menghadap Rasulullah. 

“Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Tanya Rasul. 

“Aku menyisakan setengah hartaku untuk mereka,” jawab Umar. 

Tak lama kemudian, Abu Bakar datang. Dia membawa seluruh hartanya. “Wahai Abu Bakar, apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” tanya Rasul. Abu Bakar menjawab, aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” 

Umar sungguh kagum dengan sikap Abu Bakar ini. Ia pun berkata dalam hati, ”Ternyata, aku tidak bisa mengungguli Abu Bakar selamanya.” 

*** 

Usai dilantik menjadi khalifah, Abu Bakar punya kebiasaan baru, yaitu pergi entah kemana sehabis shalat subuh. Umar sangat penasaran. Ia ingin sekali mengetahui kemana sang khalifah pergi. 

Maka, suatu hari, selepas shalat subuh, Umar membuntuti Abu Bakar dari kejauhan. Ternyata, Abu Bakar pergi ke suatu tempat yang agak jauh sambil membawa bungkusan. Akhirnya, Abu Bakar tiba di suatu kemah. Dan, tanpa sepengetahuannya, Umar mengintip dari balik batu besar. 

Kira-kira, apa yang akan dilakukan Abu Bakar di kemah jelek itu? tanya Umar dalam hati. Umar melihat di dalam kemah itu seorang wanita tua dan seorang anak perempuan yang masih kecil. Terlihat Abu Bakar mulai menyapu kemah, membersihkan sampah yang berserakan. Ia juga menyerahkan bungkusan yang dibawanya. Ternyata, bungkusan itu berisi makanan dan susu. Lalu, ia menyuruh mereka untuk segera memakannya. 

Ketika Abu Bakar berpamitan pulang, Umar segera menghampiri wanita tua itu. ”Wahai wanita tua, tahukah engkau siapa yang memberimu semua makanan ini?” 

“Aku tidak mengenalnya. Mataku sudah tidak bisa melihat. Setiap pagi, orang itu datang mengantarkan makanan dan susu, juga menyapu kemah,” ujar si wanita. 

“Ketahuilah, orang itu adalah Khalifah Abu Bakar. Sungguh, orang yang menggantikannya (sebagai khalifah) akan merasa berat.” Umar pun berlinang air mata.

Sabtu, 12 April 2014

Dia Seorang Munafik

Ketika Abdullah ibn Ubay meninggal, anaknya datang menghadap Rasulullah meminta gamis Rasul untuk kain kafan ayahnya. Beliau pun memberikannya. Ia pun meminta Rasul agar bersedia menshalati jenazah ayahnya. Namun, ketika Nabi berdiri hendak menshalatinya, Umar memegang baju Rasul seraya berkata, “Apakah engkau akan menshalati musuh Allah, wahai Rasulullah? Padahal ia telah mengerjakan keburukan, ketika Nabi berdiri hendak menshalatinya, Umar menghalangi beliau sampai di depan dada beliau. Umar memegang baju Rasul seraya berkata, “Apakah engkau akan menshalati musuh Allah, wahai Rasulullah? Padahal ia telah mengerjakan keburukan, dalam bilangan harinya?” 

Rasulullah yang penuh bijaksana tersenyum dan berkata, “Menyingkirlah dariku, hai Umar. Sesungguhnya aku diberikan pilihan, lalu aku memilih. Telah dikatakan kepadaku, apakah engkau akan meminta ampun bagi mereka atau tidak. Jika engkau memintakan ampunan bagi mereka sebanyak tujuh puluh kali, Allah tetap tidak akan mengampuninya. Aku tidak tahu apakah jika aku menambahnya lebih dari tujuh puluh lalu Allah akan mengampuninya atau tidak. Jika mengampuni, maka akan aku tambah.” 

Umar berkata lagi, ”Tetapi dia seorang munafik.” Namun, Rasulullah kemudian menshalatinya dan berjalan di belakang jenazah Abdullah ibn Ubay serta berdiri ketika penguburannya sampai selesai. Tidak lama kemudian, turunlah ayat, “Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan jangnlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan RasulNya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (at-Taubah[9]:84). 

Sejak saat itu, Rasulullah tidak pernah menshalati jenazah kaum munafik dan tidak pernah pula berdiri di pekuburan mereka sampai beliau meninggal dunia.