Sabtu, 27 November 2010

Abu Muslim dan Tersambungnya Akar Kemusliman Kita (Part 2)

Rasulullah sendiri, secara khusus, dalam banyak riwayat secara sengaja mengenalkan para sahabat-sahabatnya, dengan cara menjelaskan keunggulan mereka masing-masing. Ini juga dalam rangka agar generasi sesudahnya bisa memahami bagaimana kelebihan parasashabat itu, mengenalinya, dan sebisa mungkin mengikutinya.

Tentang Abu Bakar, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya, Allah SWT telah menjadikan aku teman dekat, sebagaimana Ia menjadikan Ibrahim teman dekat. Sekiranya aku mengambil dari umatku seorang teman dekat, maka aku akan menjadikan Abu Bakar teman dekatku.”

Tentang Umar bin Khatab Rasulullah SAW bersabda, “Pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang mendapat ilham (dari Malaikat meskipun mereka bukan Nabi). Dan jika pada umatku ada orang seperti itu, Umar adalah di antaranya.

Tentang Thalhah bin Ubaidillah, Rasulullah menggambarkan, “Barang siapa ingin melihat seorang mati syahid yang berjalan di muka bumi, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah.”

Tentang keutamaan Aisyah Rasulullah menjelaskan, “Keutamaan Aisyah atas perempuan lainnya adalah seperti keutamaan tsarid (makanan dari bubur dan daging) atas makanan lainnya.”

Begitu juga tentang sahabat-sahabat lainnya, banyak penjelasan Rasulullah yang menggambarkan kelebihan mereka secara pribadi.

Sejak dahulu, bahkan, para sahabat sendiri telah mendidik anak-anak mereka dengan mengajarkan peristiwa-peristiwa penting dalam Islam, seperti yang dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash, “Kami mengajarkan kepada anak-anak kami kisah-kisah tentang peperangan Rasulullah sebgaimana kami mengajarkan kepada mereka surat-surat di dalam Al Qur’an.”

Kebiasaan mulia itu bahkan terus menerus berlanjut hingga ke cucu-cucunya. Sa’ad bin Abi Waqash punya anak bernama Muhammad. Muhammad punya anak bernama Ismail. Ismail, cucu Sa’ad bin Abi Waqash menuturkan, “ayahku mengajarkan kepadaku peperangan dimasa Rasulullah, yang beliau pimpin langsung atau pun yang beliau tugaskan kepada sahabat lain, dan ayahku berkata, ‘Wahai anakku, ini semua adalah kemuliaan datuk-datukmu, maka jangan engkau lupa ubtuk mengingat-ingatnya.”

Seperti juga nasehat Imam Ibnul Jauzi, “Hendaklah kalian senantiasa mempelajari sejarah para salafushalih, membaca karya-karya mereka, biografi mereka, karena sesungguhnya memperbanyak membaca kary mereka dalah bentuk dari mengenali mereka.

Mengenali tokoh-tokoh Islam dan peristiwa-peristiwa penting dalam Islam merupakan keharusan bagi kita setiap Muslim. Ini tidak semata soal pengetahuan. Ini juga soal jati diri, perasaan berhutang budi, sekaligus upaya menumbuhkan rindu. Tiga hal itu merupakan alas an yang paling mendasar. Pertama, itu merupakan cara kita menguatkan perasaan tersambung dengan akar kemusliman kita. Ini soal jati diri. Bahwa sebagai seorang Muslim, kita harus memiliki rasa terikat dengan akar kemusliman kita yang ada pada para tokoh pendahulu itu.

Perasaan tersambung dengan akar itu tidak saja merupakan cara kita untuk terus tersemangati sebagai seorang Muslim. Tapi juga cara agar kita terjaga dari penyimpangan. Sebab, dengan mengikuti para pendahulu yang shalih itulah, kita akan mendapat kepastian ridha dan balasan surge dari Allah. Dengan sangat jelas Allah menggambarkan, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang masuk pertama-tama (masuk Islam) di anatara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surge-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)

Para ulama tafsir mengatakan, yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang mengiktui mereka dengan baik’ adalah siapa saja, dan kapan saja hingga hari kiamat. Maka ayat tersebut benar-benar menggambarkan pentingnya perasaan terhubung dengan akar kemusliman kita. Sesuatu yang hanya bisa kita lakukan dengan baik, jika kita mengenali orang-orang Muhajirin dan Anshar itu.

Kedua, menumbuhkan perasaan berhutang budi kepada mereka. Lalu menghormati dan mendoakan mereka. Sebab, para pendahulu dari kaum Muslimin, terlebih para sahabat Rasulullah, adalah orang-orang terbaik yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kejayaan Islam. Itu sebabnya Rasulullah sangat marah bila sampai ada yang mencela apalagi membenci sahabatnya itu. Jerih payah mereka, tidak akan ada yang bisa menandingi, meski ada orang yang menginfakkan emas sebesar gunung uhud.

Terlebih tiga generasi awal, adalah orang-orang yang semestinya kita kenali, kita fahami keagungan mereka. Sebab, mereka merupakan generasi yang di tangan mereka jaminan diperluasnya Islam telah dinyatakan langsung oleh Rasulullah. Sebagaimana dalam hadits shahih yang telah disepakati oleh Bukhari dan Muslim, “Akan datang kepada umat manusia suatu masa, di mana orang-orang berperang. Lalu ditanyakan, ‘Adakah di antara kalian sahabat Rasulullah?’ Mereka menjawab, ‘Ya, ada.’ Maka mereka mendapat kemenangan. Lalu datang lagi sesudah itu suatu masa, di mana orang-orang bereperang, lalu ditanyakan ‘Adakah di antara kalian orang-orang yang menemani sahabat Rasulullah (tab’in)?’ Mereka menjawab, ‘Ya, ada.’ Maka mereka pun mendapat kemenangan. Lalu datang suatu masa pada umat manusia, di mana orang-orang berperang. Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Adakah di antara kalianteman-teman dari temannya sahabat Rasulullah (tabiit-tabiin)?’ Mereka menjawab, ‘Ya, ada.’ Maka mereka pun mendapat kemenangan.”

Tiga generasi awal yang mendapat jaminan itu memberikan andil dan jasa luar biasa bagi tersebarnya Islam ke banyak penjuru bumi. Maka banyak jiwa terselamatkan dari api neraka. Banyak gelap berubah terang. Banyak sempit berganti lapang. Demikian juga yang dilakukan salafusshalih sesudah generasi ketiga itu. Mereka juga punya peranan yang sangat besar dalam mengembangkan, menyebarkan , dan memperjuangkan Islam.

Itu sebabnya, di dalam Al Qur’an, ada do’a untuk para pendahulu yang sangat terasa sebagai sebentuk etika dan perilaku baik dari orang-orang yang datang belakangan. “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a, ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesngguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”

Potongan pertama adalah do’a memohon ampunan untuk para pendahulu yang lebih dulu beriman. Termasuk para Muhajirin dan Anshar. Penggalan kedua, adalah do’a untuk diri kita, agar terlindung dari penyakit yang umum terjadi pada diri orang-orang yang datang belakangan, dalam menyikapi para pendahulu, yaitu dengki. Itulah yang terjadi pada orang-orang yang tidak pernah bisa menghargai jerih payah para salafusshalih, para sahabat, para tabi’in. Lalu dengan sedikit ilmu mereka berani mengkritisi sahabat, mengatakan sahabat ini salah, sahabat itu salah. Do’a tersebut merupakan cara terbaik untuk menghindarkan diri dari berlaku bodoh terhadap orang-orang shalih yang telah berjasa membuat banyak orang mengenal Islam.

Ketiga, menguatkan rasa rindu kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Rasa rindu itu merupakan energi besar. Menjadi muslim di masa yang jauh dari era kenabian Muhammad memberi kita kesempatan besar untuk dirindukan, sekaligus merindukan. Dirindukan Rasulullah, sekaligus merindukannya.

Bahkan Rasulullah sendiri mendahului itu. Ia terlebih dulu menyatakan kerinduannya. Suatu hari, Rasulullah berziarah kubur. Kemudian ia mengucapkan salam untuk para ahli kubur. “Assalamu’alaikum wahai para penghuni rumah orang-orang yang beriman. Kami insya Allah pun akan menyusul kalian. Alangkah senangnya sekiranya aku bisa melihat saudara-saudaraku.” Para sahabat yang mendengar itu berkata, “Bukankah kami ini saudara-saudara engkau wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Kalian adalah sahabat-sahabatku. Sedang saudara-saudaraku mereka belum lagi ada. Dan aku akan menunggu mereka di telaga.”

Dalam riwayat lain Rasulullah mengatakan, “Kalian adalah sahabat-sahabatku. Sedang saudara-saudaraku adalah mereka yang beriman kepadaku tetapi belum pernah melihatku.” Dalam hadits yang lain, Rasulullah mengatakan , “Seberuntung-seberuntung kaum sesudah kalian, adalah mereka yang beriman kepadaku sedang mereka belum pernah melihatku.” Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah mengatakan, “Di antara bentuk kerinduan paling kuat dari umatku adalah orang yang datang sesudahku dan dia sangat ingin melihatku meski harus mengorbankan keluarga dan hartanya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan dikomentari..