Suatu hari, Umar datang menemui Hafshah untuk mengklarifikasikan kebenaran tindakan Rasulullah yang telah menceraikan putrinya itu. Umar melihat putrinya sedang berurai mata. Ia pun berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikan dirimu.”
“Entahlah, aku tidak tahu,” jawab Hafshah masih terisak.
Umar menukas, “Beliau telah menceraikan dirimu sekali, dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikan dirimu sekali lagi, aku tidak akan berbicara lagi kepadamu untuk selama-lamanya!”
Setelah itu, Umar keluar dari rumah Hafshah dan menuju ke masjid. Di sana ia melihat kaum muslimin sedang menggaris-garis batu, menundukkan kepala seraya berkata, “Rasulullah telah meceraikan istri-istri beliau.” Para sahabat yang berkumpul tampak bersedih dan tidak ada seorangpun yang berani mengklarifikasikan berita itu langsung kepada Nabi.
Umar tidak lagi mampu bersabar. Ia menduga Hafshah adalah penyebab persoalan. Ia ingin segera mengklarifikasikan kebenaran berita ini. Akhirnya, Umar berangkat menuju gudang yang digunakan oleh Rasulullah untuk menyendiri. Umar berkali-kali meminta izin untuk menemui Rasulullah. Tetapi, tidak ditanggapi oleh Rabah, pelayan beliau. Akhirnya, Umar memohon dengan segala kerendahan hati kepada Rabah, “Wahai Rabah, tolong sampaikan kepada Rasulullah bahwa aku meminta izin untuk menemui beliau. Sungguh, aku merasa seharusnya beliau sudah mengerti bahwa aku ini datang karena persoalan Hafshah. Demi Allah, sekiranya beliau memerintahkan aku memenggal kepala Hafshah, sungguh dia akan kupenggal sekarang juga.”
Suara Umar itu terdengar oleh Rasulullah. Beliau merasa terharu dan mengizinkan Umar untuk segera masuk. Umar melayangkan pandangannya ke sekitar bilik itu, lalu menangis.
“Mengapa engkau menangis, wahai putra al-Khathab?” tanya Rasul.
Umar menunjuk ke tikar tempat Rasulullah berbaring. Di tikar itulah beliau berbaring di atas tanah hingga bekasnya tampak di badan beliau. Lalu, Umar menunjuk ke arah wadah makanan yang tidak ada isinya, kecuali sedikit gandum dan sayur.
Umar menahan air matanya seraya berkata, “Ya Rasulullah, apakah engkau merasa susah karena istri-istrimu? Jika benar engkau sudah menceraikan mereka maka Allah tetap menyertai engkau, demikian juga jibril, Mikail, saya, Abu Bakar dan semua kaum muslim!”
Rasulullah tersenyum mendengar kata-kata Umar. Beliau berusaha menenangkan hati dan pikiran Umar sambil menerangkan bahwa beliau tidak menceraikan istri-istrinya, melainkan sekadar memisahkan diri dari mereka selama sebulan.
Mendengar penuturan Nabi, Umar kembali tenang. Tidak mau membuang waktu, ia minta izin dan keluar menuju masjid untuk mengabarkan kepada orang-orang tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangga Rasulullah. Akhirnya, semua orang kembali tenang dan desas-desus tentang rumah tangga Nabi berakhir. Sejurus kemudian, Rasulullah datang dan membacakan firman Allah, “Dan ingatlah ketika secara rahasia Nabi membicarakan suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya (Hafshah). Lalu dia menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan peristiwa itu kepadanya (Nabi), lalu Nabi memberitahukan (kepada Hafshah) sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain. Maka ketika dia (Nabi) memberitahukan pembicaraan itu kepadanya (Hafshah), dia bertanya, ‘Siapa yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Yang memberitahukan kepadaku adalah Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Teliti.”
Jika kamu berdua (Hafshah danAisyah) bertobat kepada Allah maka sungguh hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran); dan jika kamu berdua saling bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sungguh Allah menjadi pelindungnya dan (juga) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya.
Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.” (at-Tahrim [66] : 3-5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan dikomentari..