Menjelang keberangkatan kaum muslim untuk membebaskan kota Makkah dari kekuasaan kaum musyrik, seorang sahabat Muhajirin bernama Hathib ibn Abi Balta’ah secara diam-diam mengirim sepucuk surat rahasia kepada kaum Musyrik Quraisy melalui seorang wanita bayaran bernama Sarah. Surat itu menginformasikan rencana kaum muslim menyerbu Makkah.
Rasulullah diberi tahu lewat wahyu. Beliau lalu memerintahkan Ali ibn Abi Thalib dan Zubair ibn ‘Awwam mengejar Sarah dan mengambil surat tersebut. Usai mendapatkannya, mereka berdua pulang lagi ke Madinah dan menghadap Nabi. Beliau lalu memanggil Hathib ibn Abi Balta’ah. Dengan suara lembut, beliau bertanya kenapa ia sampai berbuat seperti itu.
Hathib menjawab dengan suara memelas, “Ya Rasulullah, aku bersumpah demi Allah, bahwa aku tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedikitpun tidak ada perubahan dalam hatiku. Akan tetapi, aku tidak punya hubungan keluarga atau kerabat dengan mereka itu. Aku hanya mempunyai seorang anak dan seorang istri di tengah-tengah mereka. Dengan surat itu, aku bermaksud hendak minta perlindungan mereka bagi anak istriku!”
“Rasulullah,” sela Umar, “serahkan dia kepadaku, biar kupenggal lehernya. Dia seorang pengkhianat dan bermuka dua!”
“Darimana engkau mengetahui itu, Umar?” sahut Rasul, “Mudah-mudahan Allah telah memberi kedudukan istimewa kepadanya sebagai ahli Badr! Lalu, Allah berfirman, ‘Berbuatlah sekehendakmu, karena sudah kumaafkan kamu.’” Setelah diam sejenak, Rasul menoleh kepada Hathib seraya berkata, “Hai Hathib, jangan berbuat seperti itu lagi. Engkau sudah kumaafkan!”
Mendengar ucapan Rasulullah itu, Umar meneteskan air mata sambil berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui hakikat persoalannya.”
***
Sebelum memasuki Makkah, malamnya, pasukan kaum muslim bermarkas di Juhfa. Mereka menyalakan api unggun untuk menggetarkan hati penduduk Makkah. Nabi menugaskan Umar malam itu sebagai ketua koordinator pengamanan pasukan.
Al-Abbas, paman Rasul, malam itu sengaja membonceng Abu Sufyan menaiki bagal putih milik Nabi. Ia bermaksud menghadap Rasulullah dan menginginkan agar Abu Sufyan lebih baik minta perdamaian dengan beliau. Ketika keduanya melewati pasukan kaum muslim, mereka mengetahui bahwa itu adalah al-Abbas, paman Nabi, yang menunggangi bagal milik beliau. Namun, ketika keduanya melewati api unggun Umar, Umar melihatnya dan mengenali Abu Sufyan. Umar tahu bahwa al-Abbas hendak melindunginya. Umar berkata, “Oh, Abu Sufyan! Musuh Allah! Segala puji bagi Allah yang telah memberi kedudukan padamu tanpa ikatan dan perjanjian.”
Umar pun segera lari menemui Rasulullah. Di depan al-Abbas, Umar berkata kepada Rasul, “Ya Rasulullah, ini Abu Sufyan, biarkanlah aku memenggal lehernya!”
Al-Abbas cepat menukas, “Ya Rasulullah, aku sudah melindunginya.” Lalu, al-Abbas duduk dekat Rasul seraya berkata, “Demi Allah, tidak ada seorang pun yang bisa menyelamatkannya malam ini kecuali diriku.” Tentu saja, Umar geram mendengarnya. Ketika al-Abbas melihat hal itu, ia berkata lagi “Tenang, wahai Umar! Demi Allah, aku berbuat seperti ini karena ia berasal dari Bani Abdi Manaf. Seandainya, ia berasal dari Bani Adi (Kabilah Umar) tentu aku tidak akanberkata seperti ini.”
“Tenang, wahai Abbas!” tukas Umar, “Demi Allah, keislamanmu lebih aku sukai daripada keislaman al-Khathab andai ia memeluk Islam. Aku berbuat seperti ini karena aku tahu bahwa keislamanmu lebih disukai Rasulullah.”
Ketika suasana kian memanas, Rasul berkata, “Pergilah, hai Abbas. Ajaklah ia ke tempat engkau dulu. Besok pagi, bawalah ia kemari!” Nabi berusaha mencegah terjadinya pertengkaran Umar dan al-Abbas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan dikomentari..