Umar dikenal sebagai sahabat yang tegas, keras dan lugas. Ia sering bersikap tekstual. Adapun Ali ibn Abi Thalib lebih menonjolkan penafsiran kontekstual daripada tekstual, termasuk dalam memahami perintah Rasulullah. Mari kita ikuti kisah mereka berdua:
Seusai perang Hunain, seperti biasa, Rasulullah membagi-bagikan ghanimah (rampasan perang) kepada pasukan yang ikut terlibat dalam peperangan. Empat perlima dibagikan secara merata sesuai dengan tugas masing-masing. Sedangkan seperlimanya, sesuai dengan ketentuan Al-Quran adalah hak Rasul secara utuh. Beliau berhak untuk memberikan kepada siapapun yang dikehendakinya, termasuk kerabat dan anggota keluarganya.
Dalam pembagian ghanimah ini, Rasulullah selalu berusaha keras untuk bersikap hati-hati dan seadil-adilnya. Namun, selalu saja ada seseorang atau sekelompok tertentu yang merasa kurang mendapatkan keadilan. Salah seorang di antara mereka adalah Abbas ibn Mirdas, seorang mualaf yang baru saja memeluk Islam dan harus dijinakkan hatinya. Abbas ini sebelumnya terkenal sebagai penyair ulung. Syair-syairnya begitu populer pada zamannya.
Terdorong oleh perasaan tidak puasnya, ia mencela Rasulullah dengan bersyair. Ketika hal ini sampai kepada Nabi, beliau segera bangkit dan marah seraya berkata, “Andai kata Rasululllah sudah tidak bisa berbuat adil siapa lagi yang akan menegakkan keadilan? Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat kepada Musa, saudaraku. Ia telah banyak disakiti oleh kaumnya melebihi apa yang kualami, tetapi ia tetap tabah dan sabar. Bawa ke sini orang itu, dan potong lidahnya!”
Mendengar perintah Rasul tersebut, para sahabat, termasuk Umar dan Ali, langsung mencari si penyair itu. Ketika ia ditemukan, hampir saja Umar memotong lidahnya, sebagaimana pesan Nabi. Untunglah ada Ali. Ia segera menyeret si penyair yang sudah pucat pasi itu karena ketakutan. Mereka menuju ke sebuah lapangan yang masih dipenuhi binatang ternak hasil rampasan perang.
Kepada Abbas, Ali ibn abi Thalib lalu berkata, “Ambillah (ternak-ternak dan harta ramapsan perang ini) sebanyak yang kamu suka.”
“Apa! Begitukah cara Rasulullah memotong lidahku? Demi Allah, aku tidak mau mengambil sedikitpun,” ujar Abbas dengan rona merah padam karena malu. Sejak saat itu, Abbas tidak pernah mendendangkan lagi syair yang ditujukan kepada Rasulullah, kecuali puji-pujian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan dikomentari..