Suatu hari, Umar bercerita kepada Ibnu Abbas tentang penentangan istrinya.
“Sungguh, di zaman Jahiliah dulu, perempuan-perempuan tidak kami hargai sehingga Allah memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka.”
“Ketika aku sedang dalam suatu urusan,” lanjut Umar, “tiba-tiba istriku berkata, ‘Coba engkau berbuat begini atau begitu.’ Jawabku, ‘Ada urusan apa engkau di sini dan perlu apa engkau dengan urusanku?’ Dia pun membalas, ‘Aneh sekali engkau ini. Engkau tidak mau ditentang, padahal putrimu dan istri-istri Rasulullah menentangbeliau hingga membuat beliau marah.’
“Ketika mendengar hal itu, aku cepat-cepat mengambil mantelku dan pergi menemui Hafshah, putriku. ‘Anakku, benarkah engkau menentang Rasulullah hingga beliau merasa gusar sepanjang hari?’ tanyaku”
‘Ya, memang kami menentangnya,’ jawab Hafshah.
“Aku lalu menasihati putriku, ‘Kuperingatkan engkau akan siksaan Tuhan serta kemurkaan RasulNya. Anakku, engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu. Dan kalau tidak karena aku, engkau tentu sudah diceraikan.’
“Selanjutnya aku pergi menemui istri Nabi yang lainnya, Ummu salamah. Aku masih ada kekerabatan dengannya. Aku mengajukan pertanyaan seperti yang diajukan kepada putriku.”
“Ummu Salamah menjawab, ‘Aneh sekali engkau ini, Umar! Engkau mau ikut campur dalam segala hal, sampai-sampai mau mencampuri urusan rumah tangga Rasulullah!”
Umar melanjutkan ceritanya, “Kata-katanya memngaruhiku sehingga aku tidak jadi melakukan apa yang sudah aku rencanakan. Aku pun akhirnya pergi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan dikomentari..