Hafshah, putri Umar, merasa terpukul atas kematian sang suami, Khunais ibn Hudzafah, usai Perang Badar, Sang ayah, Umar ibn al-Khathab, juga sedih dan prihatin melihat putrinya yang masih muda dan harus menjanda, kehilangan masa mudanya, sering duduk menyendiri, dan nyaris kehilangan gairah hidup. Umar mulai berpikir, menimbang, dan memutuskan untuk mencarikan teman hidup bagi Hafshah. Pilihannya jatuh kepada Abu Bakar, seorang muslim yang paling dicintai Rasulullah. Umar berharap, semoga dengan sifat tenggang rasa dan kelembutannya, Abu Bakar dapat membimbing putrinya menjadi wanita yang lebih lembut dan toleran. Karena, ia menyadari, Hafshah mewarisi watak dan sifat dirinya yang keras, tegas dan bersemangat tinggi.
Tanpa ragu, Umar berangkat ke rumah Abu Bakar. Setibanya di sana, ia mengutarakan keinginannya dan menawarkan putrinya, Hafshah, untuk menjadi istri Abu Bakar. Namun Abu Bakar bergeming, tidak menjawab apa-apa untuk menanggapi maksud Umar. Tentu saja, Umar kesal dan marah melihat sikap Abu Bakar demikian. Ia pun berpaling dari hadapan Abu Bakar dengan perasaan sangat kecewa.
Sepulang dari rumah Abu Bakar, Umar melangkahkan kakinya menuju rumah Utsman ibn Affan yang ketika itu belum lama ditinggal wafat istrinya, Ruqayyah bint Muhammad. Ia menghimbau agar Utsman bersedia menikah dengan Hafshah. Ia juga berharap mudah-mudahan Allah memilih Utsman sebagai suami Hafshah karena menurut penilaiannya, Utsman pun sama baiknya dengan Abu Bakar serta cocok menjadi suami putrinya. Di luar dugaan, Utsman minta waktu untuk menjawab penawaran Umar tersebut.
Setelah lewat beberapa hari, Utsman datang menemui Umar dan menyampaikan jawabannya, “Saya belum mempunyai keinginan untuk menikah lagi saat ini.” Kontan saja, Umar hamper pecah dadanya karena rasa marah menghadapi susasana yang Tegan itu. Umar merasa tak dapat lagi menguasai gejolak hatinya yang meluap-luap. Ia tak dapat menahan kesabarannya. Didorong oleh rasa marahnya, umar menuju rumah Rasulullah dengan bermaksud hendak mengadukan perlakuan dua sahabatnya yang menolak Hafshah. Ia masih berpikir, kenapa putrinya, Hafshah, bisa ditolak oleh dua sahabatnya? Padahal, menurutnya, Hafshah itu wanita muda, cantik, dan bertakwa.
Umar masuk rumah Rasulullah dalam keadaan tidak dapat menguasai diri lagi karena marah dan sakit hati. Rasulullah menyambut kedatangan Umar dengan lemah lembut dan wajah berseri-seri. Beliau menanyakan permasalahan yang sedang dihadapi sahabatnya itu. Umar mengutarakan isi hatinya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, kutawarkan Hafshah kepada Abu Bakar untuk diperistri. Ia bergeming seperti batu, lalu tersenyum tanpa mengatakan sesuatu. Ia seolah menghinaku! Kemudian kudatangi Utsman dan kutawarkan Hafshah menjadi istrinya. Ia malah kelihatan jemu padaku dan menatap lekat wajahku. Ia meminta waktu untuk berpikir, tapi akhirnya ia pun tidak bersedia menikah dengan Hafshah putriku.”
Rasulullah yang bijaksana tersenyum mendengar penuturan Umar. Lalu, beliau berkata mengejutkan, wahai Umar, Hafshah akan diperistri oleh orang yang lebih baik dari pada Utsman dan Utsman akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Hafshah.” Umar mengulang sabda Nabi itu dengan kekaguman yang mendadak muncul, “Hafshah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Utsman?”
Meski tidak dinyatakan secara terus terang, Umar menangkap apa yang dimaksud Nabi. Ia merasa terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, wajahnya kini bersinar karena kebahagiaan. Maka, cepat-cepat ia angkat kaki membawa berita gembira ini dan menyampaikannya kepada setiap orang yang dicintainya. Orang pertama yang ditemuinya adalah Abu Bakar. Ketika melihat wajah Umar yang berseri-seri, Abu Bakar lekas mengerti tentang rahasia kegembiraannya. Abu bakar mengulurkan tangannya seraya mengucapkan selamat kepada Umar.
Imam Bukhari menuturkan dialog dua sahabat besar ini. Abu Bakar bertanya pada Umar, “Apakah kamu merasa marah kepadaku ketika kamu menawarkan Hafshah kepadaku dan aku tidak memberikan jawaban sedikitpun?”
Umar menjawab, “Benar. Ketika itu, aku memang agak marah.”
“Aku tidak memberikan jawaban kepadamu ketika kamu menawarkan Hafshah kepadaku semata-mata karena aku pernah mendengar Rasulullah pernah menyebut nama putrimu. Aku tidak ingin membuka rahasia beliaukepadamu. Namun seandainya beliau membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah,” jelas Abu Bakar.
Kini, Umar memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi Hafshah, sedangkan penolakan Utsman hanya karena ia masih sedih atas wafatnya Ruqayyah. Selanjutnya, kedua sahabat ini pergi bersama-sama. Abu Bakar menuju ke kediaman Aisyah untuk memberi tahu rencana pernikahan Rasulullah dengan Hafshah, dan Umar pulang ke rumah untuk memberi tahu putrinya bahwa ia akan menikah dengan seorang termulia. Umat Islam turut merasa gembira mendengar kabar pernikahan yang agung ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan dikomentari..