Umar sungguh prihatin melihat permusuhan antara penduduk Makkah yang masih musyrik dengan umat Islam pengikut Muhammad. Ia berniat ingin mengembalikan ketenangan Makkah dengan jalan mengikis sumber penyebab perpecahan tersebut. Hati Umar memberontak. Lama sekali ia memikirkan ingin menghabisi Muhammad dan ajarannya itu.
Suatu hari, Umar berjalan terburu-buru ke rumah al-Arqam. Tampak jelas di matanya kemarahan yang besar. Tangan kanannya menggenggam sebilah pedang. Di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Nu’aim ibn Abdullah dari Bani Zuhrah. Nu’aim memperhatikan muka Umar yang beringas lalu bertanya, “Hendak ke mana engkau, wahai Umar?” tanya Nu’aim, “rasanya aku belum pernah melihat engkau begitu marah dengan menghunus pedang seperti ini!”
“Aku hendak menghabisi Muhammad yang telah memecah-belah persatuan Quraisy, menganggap bodoh para pemuka mereka, menghina keyakinan mereka dan telah mencaci-maki tuhan-tuhan mereka,“ jawab Umar.
Mendengar jawaban Umar yang penuh emosi itu, Nu’aim segera menukas, “Demi Allah, kalau begitu, sungguh engkau telah ditipu nafsumu sendiri. Apakah berjalan di muka bumi dengan tenang setelah engkau membunuh Muhammad? Mengapa engkau tidak kembali saja kepada keluargamu sendiri dan membereskan mereka terlebih dahulu.
“Apa maksudmu? Apakah engkau juga sudah meninggalkan agama kita dan memeluk agama Muhammad? Lalu, ada apa dengan keluargaku?” Umar balik bertanya.
“Wahai Umar,” ujar Nu’aim, “maukah engkau kutunjukkan hal yang aneh? Ipar sekaligus sepupumu Sa’id ibn Zaid, dan adik perempuanmu, Fatimah, mereka telah memeluk Islam dan menjadi pengikut Muhammad! Kurasa lebih baik jika engkau mengurus saudaramu sendiri!”
Kontan saja, berita itu menambah kemarahannya. Darahnya bagai mendidih. “Apakah benar mereka berdua telah melakukannya? Jika semua itu benar, pasti mereka akan kubunuh dengan cara amat keji!” bisik Umar dalam hati.
Umar segera mengalihkan tujuannya dan pergi ke rumah adiknya dengan dengan gejolak amarah yang tidak bisa ditahannya lagi. Sesampainya di pintu rumah Fatimah dan hendak masuk, ia mendengar alunan bacaan yang tidak dikenalnya. Setelah mendengarkan sebentar, dia pun masuk dan berteriak memanggil sang adik.
Saat itu, Khabbab ibn al-Arat sedang berada di dekat Fatimah dan Sa’id tengah membacakan beberapa ayat Al-Quran dengan disimak oleh mereka berdua. Ketika mereka mendengar teriakan Umar, Khabbab segera bersembunyi di salah satu sudut rumah, sedangkan Fatimah mengambil lembaran Al-Quran yang disimaknya tadi dan menyembunyikannya di balik lengan bajunya agar tidak diketahui Umar.
Umar masuk dan bertanya, “Suara apakah yang kudengar tadi?”
“Engkau tidak mendengar apa-apa,” jawab Fatimah.
“Aku dengar kalian berdua telah menjadi pengikut agama Muhammad,” lanjut Umar.
Setelah berkata demikian, Umar langsung menyerang iparnya, Zaid ibn Sa’id dan menghajarnya. Fatimah kemudian bangkit untuk menolong suaminya dan berdiri di antara suaminya dan Umar yang sedang marah. Akan tetapi, ia juga tidak luput dari amarah Umar. Umar menampar wajah Fatimah dengan keras hingga berdarah.
Setelah diperlakukan demikian, mereka kemudian berkata, “Benar, kami telah memeluk Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sekarang lakukanlah apa saja yang kau sukai! Islam tidak akan pernah pudar dalam hati kami.”
Melihat darah mengalir dari wajah adiknya, Umar merasa menyesal lalu berkata, “Berikan kepadaku lembaran yang kamu baca tadi agar aku bisa mengetahui apa yang sebenarnya dibawa Muhammad.”
“Kami takut engkau akan merusaknya,” jawab Fatimah.
“Jangan takut! Aku bersumpah akan mengembalikannya bila aku sudah selesai membacanya,” Umar meyakinkan.
Ucapan Umar menimbulkan keinginan Fatimah agar kakaknya mau memeluk Islam. Ia berkata, “Wahai saudaraku, sesungguhnya engkau masih najis karena kesyirikanmu dan lembaran itu tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci!”
Umar lalu bangkit membersihkan diri dengan mandi. Setelah itu, barulah Fatimah memberikan lembaran mushaf Al-Quran. Pada lembaran itu, Umar membaca surah Thaha. Ketika sampai pada ayat ke-14 ‘Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku,’ ia berkata, “Alangkah indah dan mulianya bacaan ini!”
Setelah mendengar ucapan Umar, Khabbab yang sedari tadi sembunyi, keluar dari persembunyiannya, lalu berkata kepada Umar, “Wahai Umar, sungguh aku berharap engkaulah orang yang diistimewakan Allah karena kemarin aku mendengar Rasulullah berdoa, “Ya Allah kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua orang laki-laki yang paling engkau cintai di antara keduanya: Umar ibn al-Khathab atau Amr ibn Hisyam.’ Kini, Allah telah memilihmu, wahai Umar.”
“Wahai Khabbab, kalau begitu bawalah aku kepada Muhammad hingga aku bisa menerimanya dan aku akan memeluk Islam,” ujar Umar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan dikomentari..