Salah satu tanda kecerdasan akal adalah kemampuan memilih kajian-kajian sejarah danmengutip serta menyeleksi apa yang diberitakan dalam sejarah itu. Imam Ibnu Jauzi berkata, “Sesungguhnya aku hanya menukil dari kaum terdahulu apa-apa yang baik untuk dinukil, dan aku tidak menukil semua yang bisa dinukil. Sebab setiap sesuatu itu punya produk, dan produk akal adalah kecerdasannya dalam memilih.”
Oleh karena itu, kita perlu mengetahui komentar para ulama yang terpercaya terhadap-terhadap referensi-referensi sejarah sebelum kita menukil dari referensi-referensi itu. Dan sebagai contoh dari hal ini adalah apa yang dikatakan oleh As Sakhawi rahimahullah tentang kitab At Tawwabin. Karya Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Di dalamnya terdapat hal-hal yang aku sukai untuk diungkapkan secara khusus, tapi ada beberapa sanadnya yang kacau.”
Disebutkan pula dari Imam Nawawi rahimahullah, bahwa ia memberikan pujiannya pada kitab Al Isti’ab, karya Ibnu Abdil Barr rahimahullah. Tapi karena di dalamnya ada beberapa hal yang tidak patut dituduhkan terhadap perselisihan yang terjadi di antara sejumlah sahabat radhiyallahu anhum, maka An Nawawi sangat berhati-hati mengutipnya.
Namun begitu, tentu kita tidak harus meninggalkan dan mengkritisi semuanya, sebab kita memang tidak hidup sezaman dengan mereka, sehingga tidak ada orang yang bisa memahami hakikat sebenarnya. Karena itu, Az Zahabi rahimahullah mengkritisi para penilai kecacatan dan pelurusan yang mencela para khalifah, orangtua dan keluarga mereka. “Kesalahan pasti terjadi di negara dan pemerintahan manapun, dan penulis sejarah sebaiknya menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka dan menutupi hal-hal yang pantas disebutkan terkait dengan mereka.”
Adalah sebuah adab dan etika yang baik, ketika kita bercerita tentang para tokoh itu kitapun menyebutkan kebaikan mereka, dan bahkan memohonkan rahmat bagi mereka. Rizqullah At Tamimi berkata, “Alangkah buruknya kalian, mengambil manfaat dari kami, kalian membicarakan kami tapi kalian tidak memintakan rahmat kepada Allah atas kami.”
Kita tetap harus memiliki keyakinan, bahwa hanya para nabi yang ma’shum. Sedang kita, semua berpotensi melakukan kesalahan. Termasuk para tokoh Islam yang kita kagumi. Karena itu, Sa’id bin Musayib rahimahullah berkata, “Tak ada orang mulia, alim dan yang memiliki kemuliaan –selain para nabi- kecuali mereka memiliki aib. Tapi sebagian manusia ada yang tidak pantas diberitakan keburukannya. Siapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangannya tertutupi oleh keutamaannya.”
Benarlah apa yang dikatakan Aisyah ra, “Jangan kalian sebut para pendahulu kalian yang telah tiada, kecuali kebaikan mereka.”
Etika yang harus kita perhatikan, adalah seperti yang diperlihatkan ahli hadits kepada kita semua. Mereka mengerti tentang kecacatan penyampai hadits, tapi mereka tidak menyebutkan aib itu dalam kalimat-kalimat mereka. Imam Al Muzani berkata “Suatu hari Imam Asy syafi’ i menegurku ketika aku berkata, “Si Fulan adalah seorang pendusta.” Ia lalu berkata, “Sebutlah yang baik-baik tentangnya. Jangan katakana ia seorang pendusta, tapi katakanlah, “ Hadits (yang diriwayatkannya)nya bukanlah sesuatu (bukan dari Rasulullah).”
Hal itu pula yang dilakukan oleh orang-orang semisal Al Bukhari, Muslim, Ayub dan yang lainnya, agar lidah mereka tidak terbiasa dengan kalimat-kalimat yang tak beretika seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan dikomentari..