Ramadhan… Seluruh satuan masa di sepenuh bulannya adalah cahaya, bagi kita, bila kita ingin menggapai taqwa. Ia tak semata kesempatan. Lebih dari itu, Ramadhan, adalah pusaran kesakralan.
Ramadhan…
Sejujurnya setiap jiwa kita merindukan kesakralan. Tanpa kecuali. Sebab begitulah karakter jiwa kita diciptakan. Kita memang dari tanah. Tapi kita juga dicetak dari tiupan ruh, yang menjadikan tanah yang mati dalam tubuh kita tumbuh dan hidup. Karenanya, seluruh jiwa raga kita sangat ceria dan bahagia dengan Ramadhan, bahkan saat ia baru nyaris tiba. Tapi godaan nafsu dan tarikan-tarikan liar seringkali membuat semuanya kacau dan tercabik-cabik.
Sejujurnya semua jiwa kita merindu kesakralan. Dan Ramadhan, adalah muara segala kesakralan itu. Pada bulan suci itu ada gabungan seremoni lahiriyah, yang harus kita lakukan secara fisik, juga seremoni batin, yang harus kita hayati dengan khusyu’. Tak ada yang lebih indah dari puncak kesdaran yang tergabung antara ibadah lahiriyah dengan ibadah maknawiyah. Maka bersama Ramadhan hati yang keras bisa luluh leleh. Pikiran yang rancu bisa terurai jernih. Dan gairah hidup, bersama Ramadhan, bisa sangat segar dan menyegarkan. Sayang, tidak semua kita memahami dengan sebenar-benarnya.
Sejujurnya setiap jiwa kita merindu kesakralan. Bahkan sebagian kita yang hampir seluruh hidupnya berhias gelak tawa, punya momen-momen kusut masai, saat dalam kesendirian tak bisa menghindari pertanyaan fitrah diri sendiri: apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini? Peradaban kita bergerak pesat dalam dunia simbol. Mengenyangkan raga tapi sering melaparkan jiwa. Di tengah arus yang sangat deras itu, sebenarnya, perlahan-lahan jutaan jiwa diam-diam tertatih mencari oase ruhani. Kadang pencarian itu salah arah. Padahal pada Ramadhan, ada banyak jawaban atas pencarian itu.
Meski Ramadhan hadir dalam utuh cintanya, kita juga belum terlepas dari terlena. Bulan-bulan telah berlalu dan bayak dari kita yang saldo amalnya minus, bahkan defisit parah. Itu tidak semata soal hitung-hitungan amal dimaksud. Tapi juga kegersangan hati yang tak pernah berhasil memanggil air mata, barang dua tetes sekalipun. Padahal air mata keimanan justru milik orang-orang besar. Tangisan keimanan justru milik jiwa-jiwa yang tegar. Itu sebabnya mata yang menangis karena Allah, tidak akan tersentuh api neraka. Bersama kedatangan Ramadhan, yang pasti, kita punya begitu banyak kekurangan. Kita seharusnya takut, bila kekurangan itu begitu parah, sehingga kehadiran Ramadhan lebih banyak untuk kita menambal, bukan untuk menambah.
Ramadhan…
Melalui lembar-lembar kesempatan yang melekat pada Ramadhan, apa yang tertanam dalam iman kita bisa mekar. Sebab iman memerlukan pembuktian di alam amal. Bersama Ramadhan iman jadi lebih relevan. Karena Ramadhan, adalah akumulasi kemuliaan pada setiap detaknya, maka sangat penting apa yang kita lantunkan, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita lakoni di hari-hari mulia itu.
Dengan penanda siang dan malam, subuh dan senja, karena Ramadhan, kita bisa melakukan hal-hal berbeda. Berbeda kadarnya, berbeda nilainya, berbeda bentuknya , berbeda penghargaannya, berbeda pembalasannya, di sisi Allah swt.
Tapi yang tampak oleh mata sebagian kita hanya siang terang atau gelap malam, seperti biasanya. Padahal Ramadhan , bukan hari biasa, bukan siang biasa, bukan malam biasa. Memang, siapapun yang ingin mengerti jiwa Ramadhan, perlu menggunakan sentuhan rasa: rasa keimanan yang memadai. Itu sebabnya begitu banyak orang yang berlalu lalang di hari-hari Ramadhan, dan hati mereka mati, beku. Maka mereka tidak berpuasa, atau tidak benar-benar berpuasa. Mereka tidak shalat, atau tidak benar-benar shalat. Mereka tidak membaca Al-Qur’an ataau tidak benar-benar membaca Al-Qur’an. Mereka gagal membaca hakikat Ramadhan. Sebab yang ia lihat hanya apa yang tampak dari datangnya pagi dan hadirnya petang. Seperti hari-hari sebelumnya, seperti malam-malam lainnya. Mereka sungguh keliru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan dikomentari..