Minggu, 31 Oktober 2010
Abu Muslim dan Tersambungnya Akar Kemusliman Kita (Part 1)
Abu Muslim Al-Khaulani adalah kisah tentang tokoh yang mencintai tokoh. Guru yang mencintai guru. Ia juga cerita tentang sikap tahu diri generasi baru kepada generasi lama. Sikap, yang sejatinya merupakan sebuah upaya menjaga kesinambungan akar kemuslimannya. Sebenarnya, ia masuk Islam di masa Rasulullah, namun tidak sempat bertemu dan berjumpa Rasulullah. Karena itu ia dikelompokkan dalam jajaran senior para Tabi’in.
Di kampungnya, di Yaman, tiba-tiba ada nabi palsu yang sangat kejam. Abu Muslim pun diusir oleh orang yang mengaku-ngaku nabi baru itu. Maka ia pergi ke Madinah. Sampai di sana Rasulullah sudah wafat dan kepemimpinan telah dipegang oleh Khalifah Abu Bakar. Abu Muslim sendiri kemudian memilih menetap di Syam.
Suatu hari, di Hims, salah satu wilayah Syam, Abu Muslim Al Khaulani memasuki masjid. Ia terkagum. Ternyata di dalamnya ada tiga puluh dua orang sahabat Rasulullah. Di antara mereka, ada yang tampak muda, matanya bening, giginya putih berkilau, duduk dengan tenang. Jika sahabat yang lain berbeda pendapat, maka kepadanya mereka terlihat bertanya. Lalu laki-laki itu memberitahunya, dan mereka pun memahami.
Abu Muslim bertanya kepada yang hadir, “Siapa lelaki muda itu?”
Orang-orang menjawab, “Dia adalah Mu’adz bin Jabal.”
Usai shalat, Abu Muslim berusaha menemui para sahabat itu, tetapi tidak bisa. Mereka sudah bubar dari masjid. Keesokan harinya, ia masuk lagi ke masjid. Dan ia dapati Mu’adz bin Jabal sedang shalat sunah di dekat tiang. Maka Abu Muslim pun shalat di tempat yang tidak jauh darinya.
“Setelah itu aku duduk dekat dengan Mu’adz. Aku berdiam saja dan tidak berkata-kata untuk beberapa saat yang lama. Dia pun tidak berbicara dengan ku. Akhirnya aku berbicara kepadanya,” begitu ia mengisahkan.
“ Demi Allah, aku sungguh mencintai engkau, tidak karena dunia yang aku harap dari engkau, tidak juga karena kekerabatan antara aku dan engkau”, kata Abu Muslim kepada Mu’adz.
“Lalu karena apa?” Tanya Mu’adz.
“Aku mencintai engkau karena Allah ta’ala.”
Mendengar itu, Muadz bin Jabal merengkuh pundak Abu Muslim dan mengatakan terimalah kabar gembira, jika engkau memang benar-benra seperti tu. Karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang-orang yang saling mencintai karena Allah maka mereka akan berada di bawah naungan ‘Arsy ‘,
Cinta Abu Muslim kepada sahabat-sahabat Rasulullah yang ditemuinya, seperti Mu’adz bin Jabal, adalah implikasi penuh dari memahami cara menghormati para pendahulu. Itu yang dimaksud dengan cerita tentang sikap tahu diri. Melalui jasa para sahabat tersebut, apa yang diajarkan Rasulullah bisa terus mengalir dan tersampaikan hingga kepada dirinya. Itu karunia segala karunia. Maka mengenali mereka, mencintai mereka karena Allah, dan menumbuhkan perasaan berhutang budi kepada mereka adalah beberapa di anatara cara menghargai para sahabat Rasulullah. Lalu karena jasa para tabi’in itu, apa yang diajarkan oleh Rasulullah terus tersambung kepada generasi sesudahnya, penerus para tabi’in. Begitu selanjutnya.
Pada setiap kurun dari penggalan sejarah para tokoh Islam itu, selalu ada capaian-capaian baru, prestasi-prestasi besar, yang semanya tersejarahkan. Bahkan banyak dari capaian-capaian itu merupakan gabungan dari kebesaran, keberanian, ketegasan, kecerdasan, kebersihan hati, dan kepemimpinan yang berwibawa, berpadu dengan ridha dan bimbingan Allah. Maka capaian mereka, generasi awal itu, tidak saja tonggak penting dalam sejarah, tapi juga keputusan hokum syariah yang mengikutsekaligus membimbing siapa saja yang datang sesudahnya.
Di masa Khalifah Abu Bakar, ada keputusan sangat besar, yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu memerangi orang yang tidak maumembayar zakat, meski mereka masih shalat. Itu situasi yang rumit. Maka Umar bin Khatab sempat tidak sependapat. Alasannya, mereka yang masih shalat adalah Muslim. Tapi Abu Bakar juga punya argument, bahwa siapa yang memishkan zakat dari shalat berarti murtad.
Di masa Umar, ada keputusan-keputusan besar terkait dengan tanah-tanah baru yang ditaklukkan. Antara dibagi sebagai ghanimah, atau dikelola dan diambil pajaknya. Di masa Utsman, Al Quran disatukan untuk menghindari perselisihan di ujung-ujung jauh tanah baru Islam, terlebih yang bahasa ibu penduduknya bukan bahasa Arab. Di masa Ali bin Abi Thalib, ada tantangan sangat besar yang berhasil ia hadapi, yaitu menentukan sikap kekhalifahannya yang bijak sejak hari pertama ia memimpin, di tengah situasi panas dan berdarah akibat ulah licik orang yang pura-pura masuk Islam. Maka, seperti dikatakan Ibrahim Al-Ibrahim, “Pidato pertama Ali bin Abi Thalib adalah prestasi kepemimpinan yang sangat luar biasa.”
Bersama riwayat-riwayat mereka yang jauh lebih panjang dari sekadar potongan kisah singkat di atas, Islam menyebar ke berbagai penjuru, menebarkan cahaya pemahaman baru tentang Tuhan yang benar. Mengajarkan ibadah yan gglurus, penghormatan akan fitrah manusia yang hanif, keyakinan yang utuh antara kehidupan bumi dan panduan langit. Syam, Irak, Mesir, Persia, berturut-turut menikmati indahnya Islam. Terus dan terus. Begitu juga wilayah Asia Tengah, sebagian Eropa, dan Afrika.
Abad demi abad berganti. Tahun berlanjut tahun. Hari bersambung hari. Dan seribu empat ratus tahu lebih bukan waktu yang singkat untuk melahirkan beribu-ribu peristiwa dan ratusan ribu tokoh besar. Kini di setiap benua ada Islam dan Muslim. Lalu lebih dari 1 miyar penduduk bumi adalah Muslim. Untuk semua pencapaian itu, hari ini, dan seterusnya, tidakkah kit pantas bersyukur dan layak berterima kasih? Jadi, berapa tokoh dan peristiwa dalam Islam yang kita kenal?...
Langganan:
Postingan (Atom)