Sabtu, 20 Agustus 2011

Kemuliaan yang Tidak Fana

Hampir setiap orang ingin agar dirinya sepanjang hidup, menjadi orang yang dihormati, dimuliakan, dihargai. Bahkan tidak sedikit yang ingin agar kehormatan, kemuliaan dan penghargaan itu tidak berakhir hanya di batas usianya berakhir. Melainkan juga diwarisi oleh keturunannya setelah dirinya tidak ada. Karena keinginan itu, umumnya orang berusaha mencari sarana apa yang bisa menjadikan kemuliaan itu langgeng dan terus menerus untuk diri dan keturunannya.

Saudaraku,

Yang banyak dianggap menjadi sarana datangnya kemuliaan dan kehormatan itu adalah harta benda, hubungan kekerabatan dengan orang terhormat, keturunan, kedudukan, kekuasaan, jabatan dan semacamnya.

Namun sesungguhnya, mereka keliru memandang masalah ini dengan benar. Banyak oramg lupa bahwa seluruh sebab dan sarana yang dianggap bisa mendatangkan kehormatan dan kemuliaan itu, semuanya fana, tidak abadi, tidak kekal, dan pada saatnya pasti hilang. Harta benda perlahan akan berkurang. Meski diusahakan seperti apapun, dijaga, diputar dalam kegiatan ekonomi, mungkin pula ada yang bertambah, tapi tetap saja ia akan terus berkurang. Bahkan tingkat kekurangan harta, bisa terjadi secara dramatis, meski sudah diiringi rencana, ketelitian dan kerja keras lainnya. Hubungan kekerabatan juga demikian. Kehidupan berputar dan semuanya pasti berubah. Memiliki hubungan dengan orang penting, orang terkenal, tidak menjamin bisa memberi pengaruh untuk menaikkan harga diri dan kehormatan diri. Orang –orang itu tidak selamanya terhormat dan terpandang. Semua ada waktunya.

Saudaraku,

Kedudukan dan jabatan pun tidak berbeda. Sebagian orang berusaha menjaga dan memelihara jabatan dan kedudukannya, agar tetap terhormat dan dimuliakan orang. Tapi itu tidak akan pernah terjadi. Kekuasaan, jabatan pasti akan berpindah ke lain orang. Bahkan di tengah kekuasaan dan jabatan dipengang pun, kehormatan dan kemuliaan pejabat dan penguasa bisa hilang karena tingkah laku dan penyimpangan yang dilakukannya. Sebaliknya kekuasaan dan jabatan itu justru menjadi arah caci maki dan kebencian orang lain.

Keturunan. Apakah keturunan juga akan mendatangkan kehormatan dan kemuliaan? Jawabannya, bisa iya atau tidak. Keturunan kita, bahakn bisa menjadi kendala dan beban bagi diri sendiri bila mereka tidak hidup dan tumbuh dalam ketaatan kepada Allah swt. Itulah sebabnya, salahsatu firman Allah swt mengingatkan tentang kondisi istri dan keturuna bisa menjadi musuh.

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah lah pahala yang besar. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Ath Taghabun: 14-15)

Di sisi lain, tentu keturunan bisa menjadi nikmat luar biasa dari Allah bila mereka menjadi bagian dari “anak shalih yang mendo’akan orang tuanya.”

Saudaraku,

Mari kita perhatikan bagaimana kalimat yang diungkapkan oleh Ibnu Athaillah dalam hal ini. Ia mengatakan, “Jika engkau ingin kemuliaan yang tak fana dan tidak pernah hilang, maka jangan mengambil kemuliaan itu dari sesuatu yang fana dan akan hilang.” Harta benda, hubungan kerabat, keturunan, kedudukan, jabatan, semuanya akan hilang. Dan sebab kehormatan bisa langgeng dan kemuliaan tetap ada, adalah Allah swt. Allah swt yang menjadikan semua faktor itu menjadi bagian dari kemuliaan, atau sebaliknya.

Saudaraku,

Pelajaran besar dari ungkapan Ibnu Athaillah tersebut adalah, jangan tunduk dan jangan dikendalikan oleh dunia. Tapi tundukkan dan kendalikan dunia itu sebagai sarana yang bisa mendekatkan diri pada Allah swt, sebagai wasilah ketaatan kepada Allah swt.

Orang yang diridhai Allah swt, akan dihormati dan dimuliakan manusia, bagaimanapun kondisinya. Ia akan ada dalam hati manusia sebagai sosok yang dihargai dan disegani. Meski boleh jadi secara lahir orang –orang menampakkan kebencian dan memerangi dirinya, tapi nurani mereka pasti mengatakan bahwa ia oran gyang patut dihargai dan dimuliakan. Itu karena kemuliaan yang dimilkinya bukan karena sebab-sebab duniawi yang fana. Melainkan karena ditanamkan oleh Allah swt di hati hamba-hamba-Nya karena Ia meridhainya.

Maka, ketika salah seorang khalifah Umawiyah, bernama Hisyam bin Abdil Malik tawaf di Baitullah, ia terheran bagaimana orang-orang begitu memuliakan dan menghamparkan jalan di hadapan Ali Zainal Abidin bin Al Hiusein, cucu Imam Ali radhiallahu anhum. Orang –orang memberikan jalan kepadanya untuk bisa menyentuh dan mencium hajarul aswad. Hisyam bin Abdil Malik memprotes sikap orang-orang itu. Al Farazdak lalu menjawab protes Hisyam bin Abdul Malik itu dengan untaian syairnya yang kurang lebih artinya: “Ia adalah sosok yang tanah ini mengenal langka-langkahnya. Baitullah juga mengenalinya, sebagaimana juga Masjidil haram. Ia adalah keturunan Fathimah. Bila engkau tetap tak mengenalinya, kakeknya adalah penutup para Anbiya.”

Saudaraku,

Zainal Abidin rahimahullah memang sangat dikenal kedermawanan dan kemurahan hatinya. Daiebutkan dalam sebuah ungkapan, “Ia tak pernah menyatakan tidak, kecuali saat mengucapkan tasyahud Laa ilaaha illallah. Andai tidak ada tasyahud, niscaya “tidak” yang diaktakannya berarti “iya”.”

Itulah sekelumit contoh tentang apa yang menjadikan seseorang terus terhormat, terus menerus dimuliakan, hingga dirinya sendiri sudah tiada. Karena, mereka tidak menggantungkan kehormatan ke pada yang fana, maka ia mendapat kehormatan yang tidak fana.

Selasa, 16 Agustus 2011

Ramadhan... (part 2)

Seharusnya kita sangat tahu bahwa Ramadhan adalah kesakralan yang dilekatkan kepada kita, karena kita seorang Muslim, sebagai aturan yang sangat mengikat. Tidak semata ajaran, tapi juga kehormatan diri. Kesakralannya yang mengikat memiliki status yang sangat tinggi. Baik secara hukum maupun secara fungsi, secara manfaat. Sebab yang menciptakan kesakralan itu adalah Dzat yang menciptakan manusia. Maka kita yang diminta mengikuti apa yang ada pada Ramadhan. Kita yang harus menghadirkan diri kita sepenuhnya bersama Ramadhan. Tanpa tautan kesakralan itu, kita sebenarnya rapuh. Dan apalah arti badan yang tegak bila hati gelap tak bercahaya. Jalan pun gontai, langkah pun tak akan sampai. Ramadhan, kesakralannya memang sekaligus ujian.

Bila kreasi kesakralan berdimensi waktu, diserahkan sepenuhnya kepada kita, maka kita manusia, cenderung menciptakan sentra-sentra kesakralan, pada momen yang kita karang-karang sendiri. Dan itu lebih banyak palsunya. Sangat sedikit yang nyata. Itu sebabnya, kita sering gagal. Bahkan apa yang sering kita sebut sebagai ekspresi kesyukuran, karena bertambahnya keluarga, atau bertambahnya usia, bertambah hasil, berambah capaian, seringkali hanyalah pesta meriah dengan secuil doa yang masih tersangkut di kerongkongan. Itu kesakralan yang kita kreasi dengan cara yang mungkin sulit dipahami dalam perspektif kesakralan Ramadhan.

Di kedatangan Ramadhan yang kesekian, ia tetap lapang membuka diri, lega membagi peluang. Seharusnya kita mengerti arti mengejar hasil bersama Ramadhan. Tidak semata jumlah, tapi juga nilai. Di antara kita ada yang menyia-nyiakan bulan yang begitu mulia itu. Bagaimana mungkin mereka bisa menghargai hari-hari lain di luar bulan Ramadhan?

Sebagian lagi dari kita hanya menghampiri sisi luar Ramadhan. Berleha sejenak di etalasenya. Menghibur diri atas nama rasa lelah. Sangat sejenak. Tapi gagal memasuki ruang dalam di lorong-lorong panjang Ramadhan yang melimpah berkah.

Banyak dari kita yang menghabiskan uang untuk belajar bagaimana mengatur waktu. Ada banyak pelatihan dan uji coba tentang itu. Ada banyak model tentang bagaimana mengelola waktu. Ada banyak falsafah yang kita anut tentang waktu. Tapi sangat sedikit yang mau menyediakan diri seluruhnya untuk keagungan waktu-waktu di saat Ramadhan tiba. Maka ilmu kita tentang manajemen waktu semakin modern dan nampak cerdas, tapi tetap banyak dari kita yang tak benar-benar mengerti betapa sangat berharganya Ramadhan.

Seharusnya bersama Ramadhan kita belajar banyak tentang pengalian, bukan hanya penjumlahan. Sebab begitulah yang tersedia bersama Ramadhan: pelipatgandaan balasan dan penghargaan. Seharusnya kita sadar, bahwa bila kita tak mendapati karunia besar dengan kedatangan Ramadhan, alangkah datarnya hidup. Sebab yang kita lakukan hanya menjumlah angka-angka ibadah di hari-hari biasa. Jumlahnya sedikit dan banyak yang compang-camping. Tapi bersama Ramadhan, semua dikalikan berlipat-lipat. Begitupun, banyak dari kita yang enggan menyediakan diri untuk berbuat apa-apa yang bisa dikalikan, di hari-hari istimewa itu. Maka bila Ramadhan berlalu, banyak dari kita yang tetap miskin kebajikan.

Tanpa Ramadhan, alangkah minimnya kualitas kita. Sebab yang kita lakukan hanya mengisi rutinitas yang terbatas. Itupun masih sering digerogoti penyakit hati yang aneh-aneh. Bersama Ramadhan ada pengalian berkali-kali. Bahkan di salah satu malamnya ada malam yang sangat-sangat istimewa. Itu pengalian dalam ribuan yang menghasilkan jumlah yang sangat-sangat besar. Seperti yang telah dijelaskan oelah Rasulullah saw, “Barangsiapa yang mendirikan shalat pada malam Lailatul Qadar, karena iman dan mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Adakah karunia yang lebih besar, lebih banyak, lebih melimpah , dari dosa daosa di masa lalu yang terampuni?

Ramadhan, begitu kuat karakternya. Dalam diamnya yang terjaga, bulan suci itu menyebar aura yang menggetarkan. Tapi hanya orang tertentu yang bisa menemukan sisi itu dari Ramadhan. Semoga kita bisa menyapanya dengan jujur, menyertainya dengan tulus.

Ramadhan …

Ramadhan… Seluruh satuan masa di sepenuh bulannya adalah cahaya, bagi kita, bila kita ingin menggapai taqwa. Ia tak semata kesempatan. Lebih dari itu, Ramadhan, adalah pusaran kesakralan.

Ramadhan…

Sejujurnya setiap jiwa kita merindukan kesakralan. Tanpa kecuali. Sebab begitulah karakter jiwa kita diciptakan. Kita memang dari tanah. Tapi kita juga dicetak dari tiupan ruh, yang menjadikan tanah yang mati dalam tubuh kita tumbuh dan hidup. Karenanya, seluruh jiwa raga kita sangat ceria dan bahagia dengan Ramadhan, bahkan saat ia baru nyaris tiba. Tapi godaan nafsu dan tarikan-tarikan liar seringkali membuat semuanya kacau dan tercabik-cabik.

Sejujurnya semua jiwa kita merindu kesakralan. Dan Ramadhan, adalah muara segala kesakralan itu. Pada bulan suci itu ada gabungan seremoni lahiriyah, yang harus kita lakukan secara fisik, juga seremoni batin, yang harus kita hayati dengan khusyu’. Tak ada yang lebih indah dari puncak kesdaran yang tergabung antara ibadah lahiriyah dengan ibadah maknawiyah. Maka bersama Ramadhan hati yang keras bisa luluh leleh. Pikiran yang rancu bisa terurai jernih. Dan gairah hidup, bersama Ramadhan, bisa sangat segar dan menyegarkan. Sayang, tidak semua kita memahami dengan sebenar-benarnya.

Sejujurnya setiap jiwa kita merindu kesakralan. Bahkan sebagian kita yang hampir seluruh hidupnya berhias gelak tawa, punya momen-momen kusut masai, saat dalam kesendirian tak bisa menghindari pertanyaan fitrah diri sendiri: apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini? Peradaban kita bergerak pesat dalam dunia simbol. Mengenyangkan raga tapi sering melaparkan jiwa. Di tengah arus yang sangat deras itu, sebenarnya, perlahan-lahan jutaan jiwa diam-diam tertatih mencari oase ruhani. Kadang pencarian itu salah arah. Padahal pada Ramadhan, ada banyak jawaban atas pencarian itu.

Meski Ramadhan hadir dalam utuh cintanya, kita juga belum terlepas dari terlena. Bulan-bulan telah berlalu dan bayak dari kita yang saldo amalnya minus, bahkan defisit parah. Itu tidak semata soal hitung-hitungan amal dimaksud. Tapi juga kegersangan hati yang tak pernah berhasil memanggil air mata, barang dua tetes sekalipun. Padahal air mata keimanan justru milik orang-orang besar. Tangisan keimanan justru milik jiwa-jiwa yang tegar. Itu sebabnya mata yang menangis karena Allah, tidak akan tersentuh api neraka. Bersama kedatangan Ramadhan, yang pasti, kita punya begitu banyak kekurangan. Kita seharusnya takut, bila kekurangan itu begitu parah, sehingga kehadiran Ramadhan lebih banyak untuk kita menambal, bukan untuk menambah.

Ramadhan…

Melalui lembar-lembar kesempatan yang melekat pada Ramadhan, apa yang tertanam dalam iman kita bisa mekar. Sebab iman memerlukan pembuktian di alam amal. Bersama Ramadhan iman jadi lebih relevan. Karena Ramadhan, adalah akumulasi kemuliaan pada setiap detaknya, maka sangat penting apa yang kita lantunkan, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita lakoni di hari-hari mulia itu.

Dengan penanda siang dan malam, subuh dan senja, karena Ramadhan, kita bisa melakukan hal-hal berbeda. Berbeda kadarnya, berbeda nilainya, berbeda bentuknya , berbeda penghargaannya, berbeda pembalasannya, di sisi Allah swt.

Tapi yang tampak oleh mata sebagian kita hanya siang terang atau gelap malam, seperti biasanya. Padahal Ramadhan , bukan hari biasa, bukan siang biasa, bukan malam biasa. Memang, siapapun yang ingin mengerti jiwa Ramadhan, perlu menggunakan sentuhan rasa: rasa keimanan yang memadai. Itu sebabnya begitu banyak orang yang berlalu lalang di hari-hari Ramadhan, dan hati mereka mati, beku. Maka mereka tidak berpuasa, atau tidak benar-benar berpuasa. Mereka tidak shalat, atau tidak benar-benar shalat. Mereka tidak membaca Al-Qur’an ataau tidak benar-benar membaca Al-Qur’an. Mereka gagal membaca hakikat Ramadhan. Sebab yang ia lihat hanya apa yang tampak dari datangnya pagi dan hadirnya petang. Seperti hari-hari sebelumnya, seperti malam-malam lainnya. Mereka sungguh keliru.